Laman

Pengikut

Jumat, 02 Maret 2012

PRODUK KEKRIYAAN


PRODUK KEKRIYAAN (1)

 Oleh Agus Mulyadi Utomo

PENDAHULUAN

            Manusia dalam kehidupan merupakan serangkaian dari masalah-masalah, dimulai dari sejak kelahirannya telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan, yang timbulnya bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau saling mempengaruhi atau saling berhubungan satu dengan lainnya.  Dengan menggunakan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan pemikiran yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak.

 Budaya Materi
                                     
          Bermula dari kebudayaan paling sederhana yang  muncul pada zaman batu. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan pengetahuan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada zaman itu. Untuk menunjang kelangsungan hidup, manusia kemudian  membuat alat-alat dari bahan-bahan yang diperoleh di alam sekitar mereka. Sebagai contoh, kapak genggam (lihat Gbr 1,2 dan 3) dan alat-alat perburuan yang dibuat dari tulang dan tanduk binatang.  

          Setiap saat manusia dihadapkan pada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan atau tindakan sebagai suatu reaksi terhadap suatu kebutuhan dan keadaan aman dilingkungan kehidupannya. Kebutuhan dasar yang umumnya berupa makan-minum (pangan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Dan bila sudah terpenuhinya kebutuhan dasar (jasmani-material) tersebut, lalu meningkat pada kebutuhan yang bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai-nilai tertentu, identitas dan kepribadian serta harga diri atau prestise (status-sosial-budaya) yang setiap saat berubah.

          Manusia selalu bereaksi. Karena itulah, sebagai sesuatu hal yang menyebabkan manusia melangkah untuk lebih maju dan berkembang. Tindakan untuk bereaksi juga merupakan tanggapan dari sesuatu hal akan kebutuhan, yang bisa saja timbul dari individu atau kelompok masyarakat, baik sebagai makhluk biologis maupun sebagai makhluk sosial-budaya. Bisa dengan reaksi intelektual (akal-ilmiah) atau emosional (rasa-ekspresi) yang didorong oleh kemauan atau kehendak (karsa) untuk senantiasa berusaha memenuhi akan kebutuhan dan memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui. Tindakan  berupa kegiatan yang dimulai dari berfikir, merancang hingga mewujudkan benda-benda bernilai, yang sebenarnya untuk memenuhi suatu kebutuhan adalah sebagai hasil dari olah cipta, olah akal, olah rasa dan karsa. Setiap orang tentu ada keinginan untuk bisa mengungkapkan tentang perasaannya, gagasannya, tanggapannya, pendapatnya, sikap dan pengalamannya sebagai naluri yang sebenarnya telah diwarisi  secara turun-temurun.

Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1974) adalah:
-       Pertama, sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
-       Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial; 
-       Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia yang biasa disebut kebudayaan fisik. Berupa hasil aktivitas manusia seperti benda-benda nyata atau kasat mata, dapat diraba, dan difoto, mulai benda bangunan besar dan kolosal, lalu candi-candi serta patung atau arca-arca, pakaian, perhiasan, hingga benda yang kecil peralatan hidup sehari-hari, benda magis-spiritual, juga sampai pada benda seni yang murni emosional. 

Pandangan Koentjaraningrat tersebut dalam kenyataan hidup masyarakat sehari-hari tampak sulit dibedakan satu dengan lainnya, karena bisa terjalin menjadi suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Adat-istiadat kebiasaan dan kepercayaan serta agama turut pula mengatur atau memberi arah kepada perbuatan yang menghasilkan benda-benda fisik nyata sebagai wujud dari konsep yang dianggap bernilai atau ideal. Kehadiran benda-benda tentu akan berakibat munculnya ide atau gagasan baru atau benda-benda yang baru pula, demikian seterusnya dan  bisa merupakan serangkaian sebab-akibat atau sebagai proses pembelajaran menuju suatu yang lebih baik dan berkembang.

Kemampuan pembuatan produk kriya sudah tampak dalam periode budaya agraris (agriculture), yang menunjukkan perkembangan peradaban. Perkembangan yang secara umum diikuti oleh suatu peningkatan kebutuhan hidup yaitu seperti keperluan terhadap peralatan pertanian, dapur, pakaian dan peralatan rumah-tangga lainnya, sehingga orang kemudian memproduksi beberapa produk seperti: pisau atau parang, cangkul, cawan, periuk, tempayan, pakaian, perhiasan, kursi dan mebelair serta perabotan lainnya.
         
          Salah satu cara yang paling penting dalam hubungan antara manusia secara sosial adalah melalui perantaraan benda-benda (produk). Budaya materi merupakan istilah bagi kajian hubungan manusia-benda: kajian mengenai manfaat benda-benda atau objek-objek. Dengan demikian budaya materi ini menjadi berguna, karena menunjukkan bahwa materi dan budaya selalu berkombinasi dalam hubungan-hubungan yang spesifik dan bahwa hubungan-hubungan ini dapat menjadi objek studi wilayah artefak yang dikenal luas sebagai budaya materi yang mencakup: alat, peralatan, senjata, ornamen, perkakas domestik, objek-objek relegi, barang-barang antik, artefak primitif, bahan-bahan tradisi, dan lain-lain. Produk kekriyaan sebagai artefak merupakan salah satu produk budaya materi yang sangat penting dan merupakan salah satu sarana yang melaluinya dapat diperoleh sutu hubungan dengan masa lalu. Semenjak produk kriya memainkan peran penting dalam kehidupan sosial di masa lalu, misalnya keramik yang tahan waktu atau zaman telah menjadi suatu sumber data yang bernilai untuk merekonstruksi kondisi sosial. Sehingga jejak-jejak perubahan kebudayaan yang tercemin melalui pengalihan teknologi dan gaya keramik dalam suatu masyarakat akan memberikan indikasi informasi yang bernilai tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Telaah melalui perubahan stifistik, morfologi, dan teknologi akan mencerminkan bagaimana pengaruh dari pembuatan keramik yang inovatif dalam masyarakat maupun akibat-akibat dari konteks sosial dan kultural. Oleh karena itu studi perubahan melalui produk keramik atau melalui kajian terhadap sebab-akibat atau atas reaksi terhadap perubahan tertentu dalam masyarakat pembuatnya akan memberikan informasi tersebut. Seperti juga produk karya seni murni dan arsitektur, objek-objek yang dihasilkan secara industrial dapat dilihat sebagai manifestasi perubahan dalam iklim mental dan sebagai kehendak sejarah. Karena dalam perencanaan (desain) yang merupakan upaya secara sadar untuk mengadakan tatanan yang bermakna, sehingga bentuk dari artefak manusia, melalui desainnya, dapat dipahami khususnya dalam konteks waktu.  
  
         Semua kebudayaan secara konstan berubah, tidak ada kebudayaan yang statis sepenuhnya. Bahkan dalam semua sistem sosio-kultural juga selalu mengalami perubahan, walaupun tingkat dan bentuk perubahan berbeda-beda dari situasi satu ke situasi lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat perubahan seperti: perubahan dalam lingkungan fisik, jumlah, penyebaran, komposisi penduduk, kontak dan isolasi, nilai dan sikap, struktur sosial, kebutuhan yang dirasakan, adat-istiadat dan budaya. Sementara itu perubahan pada umumnya akan mengikut sertakan modifikasi dalam lingkungan sosio-kultural atau lingkungan fisik. Lingkungan sosio-kultural lebih menunjuk pada orang, kebudayaan, dan masyarakat, sedangkan lingkungan fisik menunjuk pada tata ekologi tertentu, baik alami maupun buatan manusia (Koentjaraningrat: 1984, 90).

          Dalam studi perubahan produk kekriyaan, ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan konteks sosial dan kultural adalah: rangsangan terhadap perubahan, faktor internal dan eksternal dalam proses perubahan, dan arah dalam proses inovasi. Proses perubahan sosial dan kultural menunjukkan berbagai variasi seperti: penemuan, invensi dan difusi. Penemuan adalah suatu kegiatan untuk menjadikan sadar atas sesuatu, terkadang yang telah ada sebelumnya tidak dirasakan dan disadari. Invensi adalah suatu kombinasi baru dari objek-objek atau pengetahuan yang telah ada untuk membuat suatu produk baru atau merupakan suatu sintesis dari bahan dan kondisi atau praktek yang ada sebelumnya. Dalam konteks seperti itu, invensi dapat diartikan sebagai "pembuatan". Perubahan yang berkaitan dengan konteks sosio-kultural tersebut, kaum intelektual berperan sebagai pendahulu dalam pembentukan sistem pengetahuan masyarakat. Di samping itu terdapat kelompok-kelompok pembawa budaya tertentu yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan kontur budaya konsumen sebagai konsekuensi kemampuannya di dalam mempengaruhi perkembangan fashion, gaya hidup, seni dan budaya.

 
Dalam pembentukan selera kesenian, massa disini mempunyai peranan besar dan penting, sementara itu para investor dan pasar juga ikut berperan besar sebagai pembuat cita rasa massa dan pembentuk nilai-nilai budaya bangsa. Secara luas dibangun oleh kaum intelektual yang mencakup: kriyawan, ahli, peneliti, sarjana, dan seniman serta desainer sebagai sumber daya kreativitas. Daya kreativitas yang dimiliki kaum intelektual tersebut pada gilirannya akan melahirkan berbagai inovasi baru.

          Istilah inovasi seringkali digunakan untuk mencakup hasil penemuan dan invensi tersebut, hal ini tentu merupakan pikiran, perilaku, atau sesuatu yang baru, karena secara kualitatif berbeda dari bentuk semula. Sehingga inovasi secara longgar dipandang sebagai adopsi terhadap suatu proses dan bentuk yang baru. Inovasi merupakan suatu ide atau konstelasi ide, tetapi beberapa inovasi yang melalui sifatnya kadangkala hanya tinggal dalam organisasi mental, sementara yang lain mungkin merupakan bentuk ekspresi yang tampak dan nyata.

          Inovasi pada produk kriya tampak pada munculnya proses dan bentukan produk baru, suatu produk yang berkembang yang bersifat non-tradisional. Produksi bentuk-bentuk non-tradisional ini didasarkan pada ide-ide dari luar yang tumbuh dari tuntutan konsumen yang terus berubah. Untuk memahami perubahan produk kriya sebagai konsekuensi adopsi inovasi, maka telaah yang memusatkan analisis pada masyarakat, dengan memperhatikan pertama kali pada dasar teknik produksi ekonomisnya adalah menjadi penting. Oleh karena dalam lingkup demikian terjadinya perubahan akan dapat diamati dan dirumuskan tentang perubahan-perubahan seperti teknik proses bahan baku, teknik produksi, mesin-mesin yang memproduksi, pakaian, perabotan, perumahan dan sebagainya, juga merupakan teknik-teknik, dengan melalui
perubahan-perubahan tersebut yang akan mempengaruhi masyarakat (Karl Mennhei, 1985: 119).

          Di samping hal tersebut, dalam studi perubahan produk kriya, ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan konteks sosial dan kultural adalah sebagai  rangsangan terhadap perubahan, faktor internal dan eksternal dalam proses perubahan serta arah dalam proses inovasi. Berkaitan dengan rangsangan perubahan tersebut, perlu juga memahami karakteristik dari kerajinan tangan (skill) itu sendiri.

          Secara etnografis faktor-faktor eksternal mencakup berbagai aspek integrasi, ekonomi internasional, pengenaan ekonomi uang komunikasi yang baik dan fasilitas transportasi, suatu peningkatan dalam wisata nasional dan internasional, minimnya bahan bakar dan penebangan hutan dan emigrasi dari daerah pedesaan ke kota-kota.

          Tuntutan pasar dan pengembangan pasar wisata merupakan dua kepentingan yang berkait dan berpengaruh pada sistem produk kekriyaan. Sementara itu proses inovasi dan alasan mengapa kelompok tertentu dalam suatu masyarakat memilih untuk memperbaharui pandangan inovasi dalam masyarakat pertukangan atau perajin mencakup dua hal: yakni dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Inovasi dari atas ke bawah terjadi manakala pekerja senirupa ahli yang kaya, atau paling tidak telah mapan dalam perdagangannya terikat dalam inovasi. Inovasi dari bawah ke atas melibatkan hal baru, bentuk-bentuk luar yang menduduki sesuatu yang baru, yang tidak memanfaatkan celah ekonorni sebelumnya. Proses inovasi dari atas ke bawah melibatkan pengawasan negara sebagai suatu mekanisme dari atas ke bawah yang membimbing inovasi. Sementara itu proses inovasi dari bawah ke atas berasal dari sumber-sumber di luar kontrol negara.

Evidensi inovasi dari bawah ke atas makin tampak dalam gabungan "orang-orang biasa" dan melibatkan perubahan yang mempertinggi jaminan ekonomi mereka. Sedangkan arah inovasi berkaitan dengan suatu kombinasi antara ekonomi dan
martabat (prestise), di satu sisi pembaharuan itu mernperoleh keuntungan secara ekonornis dan disisi lain mempersyaratkan kepedulian terhadap aspek-aspek kultural yang ada.

         Benda-benda fisik yang mempunyai nilai fungsi atau bermanfaat ganda baik untuk perlengkapan hidup sehari-hari maupun untuk keperluan khusus misalnya untuk tujuan keindahan atau dekoratif (pajangan) pada awalnya disebut sebagai benda-benda kriya. Benda-benda  kriya yang berasal dari daerah-daerah merupakan lambang atau citra dan cita rasa masyarakat daerah tersebut, sesuai dengan kepribadian masyarakat dilingkungannya yang tentunya ada perbedaan sedikit atau banyak dengan masyarakat daerah lainnya, karena adat kebiasaan atau kepercayan-agama atau kompleks sistem referensi yang bisa juga berbeda satu dengan yang lain. Semakin khusus dan khas gaya yang dimiliki benda atau produk kriya maka semakin mudah dikenali dan mentradisi serta berkembang mencapai puncak mutu dan kejayaan serta kemudian menjadi bersifat klasik. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda kekriyaan dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya diperlukan pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan calon mahasiswa, serta perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan-perdebatan dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil karya dan konsep pengembangan serta  pendidikan di perguruan tinggi seni. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda (produk) kriya dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya tentu diperlukan pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil produk kriya dan konsep pengembangannya serta  pendidikan di perguruan tinggi seni. 

       Kekriyaan memiliki flesibilitas yang tinggi, bisa berupa kecendrungan-kecendrungan, bisa perpaduan atau tergantung dari cara mendudukannya serta wawasan yang dipergunakan oleh seniman atau perajin atau desainer. Pemahaman tentang kriya perlu diperjelas dan terarah, sehingga sesuai dengan kebutuhan yang makin berkembang dan kompleks seperti kondisi masyarakat saat kini. Pengembangan seni menuju spesialisasi kriya, adalah wacana keilmuan yang khas. Untuk  bisa eksis secara mandiri, tentunya tidak berada dalam pengertian senirupa umum (awam) yang sepertinya tumpang- tindih (overlaping). Wawasan dan pengertian yang jelas akan kekriyaan sangat dibutuhkan, untuk dapat menentukan sikap yang profesional bagi mereka yang menekuni kekriyaan.    

Pustaka Buku Kekriyaan

agus mulyadi utomo : goesmul@gmil.com / Hidup dan Seni / Produk Kekryaan

                                                                          
Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam : Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 – 34
Anonim,  2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16
Anonim, 1995. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist  Burbank, Aimed Press, hal.18
Anonim, 2005, BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 1, Februari 2005
Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP. Prv.JawaTengah dan Jur. Arkeologi FIB-UGM
Atmosudiro, Sumijati. 1984. Notes on the Tradition of Pottery Making in the Region of Kasongan, Regency of Bantul. dalam Satyawati
Donald Tamplin. 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap, hal. 7
Enget,dkk, 2008. Kriya Kayu untuk SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, hal. 421 – 424.
Francis, Abraham M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta.
Feldman, B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall Inc.
Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.
http://www.google.co.id/produk, akses 3/08/2010
Haryono, Bedjo. 1995-1996. Pembuatan Kerajinan Tanah Liat Tradisional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman DIY.
Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999,  Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj. Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Manhei, Karl. 1985. Sosiologi Sistematis. (Terj: Soerjono Soekanto), Rajawali, Jakarta.
Manuaba, Bunga Rampai Ergonomi Vol. 1, Kumpulan Artikel PS Ergonomi – Fisiologi Kerja, Unud Denpasar, 1998, Hal. 1
Manuaba, Catatan Kuliah S-2 Ergonomi, 2006
Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.
Munro, Thomas,1969. The Arts and Their Interrelations. Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve University
Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan Keramik Indonesia, Jakarta.

Stark, Miriam T. and William A. Longacre. 1993. Kalinga Ceramics and New Technologies: Social and Cultural Contexts of Ceramics Change, dalam W. D. Kingery (Ed), Ceramics and Civilizition: The Social and Cultural Contexs of New Ceramic Technologies. Volume VI, The American Ceramic Society, Westerville, OH.
Sritomo W. Subroto, Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 2006, 21-22 Nopember 2006, Auditorium Ged. A-D Usakti, Jakarta, hal. 11
Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta
Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap
Virshup, Evelyn,1995. Jackson Pollok Art Versus Alchohol. dalam Barry Panter dan Virshup. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist. Burbank: Aimed Press, 1995.
Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,  hal.151.
Yuswadi Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu Penjelajahan Awal. Hal. 785 – 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar