Pengertian
Seni dan Kriya Kontemporer
oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.comHidup dan Seni.blogspot.goesmul.com
Pada seni klasik, dapat ditemukan komposisi bentuk dan isi cerita / legenda seperti lukisan “Monalisa”, dimana tendapat spiritual abad itu tentang “perempuan” yang tidak akan ditemukan pada zaman sesudahnya. Karena adanya evolusi/difusi kebudayaan, maka terjadi perubahan yang disebabkan lingkungan dan waktu. Seni klasik jadi seni peralihan—impressionisme. Pelukis Renoir dan Manet kala itu berprinsip bahwa “manusia berjarak objektif dengan barang fisik dan manusia berperasaan lebih unggul dari benda”. Pada era impresionisme terdapat jarak sebagai batas yang tak terjembatani antara subjek dengan objek, antara manusia dengan alam.
Kreativitas seniman terus
bergulir. Bermula ditinggalkannya paradigma klasik Renaisance ke paradigma baru impressionisme
(permulaan abad ke-20), lalu ekspresionisme,
abstrak, dadaisme, kubisme, abstrak ekspressionisme, abstrak formalisme,
pop-art, neo-dada, optic-art, minimalisme, hingga surealisme. Semua gaya (isme) yang berasal dari Barat itu menyebar
dan menguasai dunia serta mengkokohkan sebagai seni modern dunia atau
modernisme yang sering disebut “seni tinggi” (advance guard).
Seni rupa modern Barat
mengklaim dunia sebagai ruang lingkupnya yang berakar pada internasionalisasi
ide-ide Barat yang disebut westernisasi yang kemudian membangkitkan reaksi
negara-negara non-Barat. Munculnya perkembangan arus utama (mainstream) di
pusat-pusat seni rupa modern yang menyudutkan seni rupa di luar Eropa-Amerika dan ditolaknya standar nilai serta perkembangan periferi di luar
arus utama, dimana seluruh museum dan galeri seni rupa modern di Amerika menolak
karya-karya modern Indonesia dan Thailand. Sebagai reaksi kejadian ini maka muncullah pameran-pameran internasional
(KIAS) dari negara-negara nonblok (GNB).
Modernisme pada intinya merupakan suatu keyakinan akan kemandirian nilai
estetika yang harus ditingkatkan secara terus-menerus. Keyakinan tersebut
melahirkan norma-norma kebaruan, keaslian dan kreativitas. Seniman dituntut
untuk menciptakan keharuan dan keaslian, sehingga terjadi penolakan-penolakan
sejak tahun 1960-an serta makin memuncak pada masa berikutnya.
Pada pertengahan abad ke-20,
modernisme dianggap sebagai suatu beban oleh kaum muda dan mulai ditentang,
yang setelah modernisme disebut post-modernism atau post-mo, maka muncullah
paradigma baru yakni seni kontemporer. Seni kontemporer memberi terobosan baru
yang sangat bebas dalam pengekspresian emosi seniman dan terasa tanpa beban.
Seni kontemporer dapat
dipandang secara apresiatif sebagai kegairahan intelektual, setidak-tidaknya
menjadi modal bagi tumbuhnya daya respons dalam menyongsong era baru yaitu
post-modern, yang dianggap positif mengimbangi humanisme dan intelektual
daripada kecenderungan dehumanisasi dan kedangkalan budaya modern yang dimotori
ekonomi kapitalis yang transnasional serta inovasi teknologi yang makin canggih.
Di Barat pada 1970-an, muncul suatu
reaksi terhadap idealisme high art (advance
guard) dan muncul era post-modern yang menampilkan multivariousness.
Pendekatan pluralistik yang menekankan unity—kebersamaan
dalam keragaman, merupakan kesamaan reaksi di arus utama terhadap
standar-standar senirupa internasional sebagai arus baru perkembangan dan
pemikiran seni rupa kontemporer yang lepas dari universalisme dan kaburnya
batasan seni rupa modern dari seni rupa kontemporer. Pada seni kontemporer, seniman bebas menengok ke masa lalu, masa kini dan
masa mendatang. Dapat pula memakai kekayaan budaya tak terbatas banyaknya. Juga
tiada lagi ”kebenaran tunggal” dan muncul pluralisme.
Inilah paradigma baru seni kontemporer yang mengandung makna netral dari
pengertian seni masa kini. Walaupun situasinya modern disemangati Garda Depan dengan merebaknya happening art, performance art dan seni
instalasi. Juga atas kehadiran isu-isu multicultural,
gender, sosial, bangkitnya spiritualisme, periferi dan lainnya.
Kematian Zaman Modern.
Post-modernism atau pasca-modernisme yang bermula dari gerakan seni masa kini
telah bergeser menjadi gerakan budaya. Pergeseran ini dimungkinkan bukan hanya
disebabkan basis material kebudayaan (difusi kebudayaan) seperti dari
manufaktur ke reproduksi, tapi juga karena para filsuf mengumumkan ”kematian
zaman modern” untuk menegakkan unity kesepakatan dalam kebersamaan sebagai
dasar pembenaran yang plural sebagai paradigma baru serta wacana seni
kontemporer.
Untuk memperoleh kejelasan
tentang seni kontemporer, perlu dibahas mulai dari seni modern, kemudian
bagaimana seni modern akan keluar dari legenda yang menyatakan bahwa seni yang
merupakan ekspresi dunia objektif (fisik) tersebut kemudian masuk ke dalam seni
kontemporer atau post-mo.
Kehidupan manusia punya dua
pijakan dasar yang kuat—dunia (world)
dan sikap dasar (basic attitude).
Pada sikap dasar terdapat tiga jenis interest yaitu pengobjektifan, ungkapan,
dan penyesuaian norma. Dunia manusia pun terdiri dari
tiga—objektif, sosial dan subjektif.
Seni dalam modernitas hanya ditemukan dalam dunia objektif dan dunia
subjektif. Namun estetika dalam modernisme sebagai ekspresi hanya akan
ditemukan dalam bidang yang amat khusus umpamanya erotisme. Kesenian modern
bukanlah produk sosial, sikap atas rasionalitas ekspresif, sedangkan dunianya
dalam dunia objektif.
Diawali oleh Cezanne, dimana jarak antara manusia
dan alam dibatasi dengan cara si subjek menguasai objek dengan
mengekspresikannya. Dunia objektif dan subjektif yang terpisah dicoba disatukan
walaupun dengan cara menguasai objek. Karena itu dalam seni modern, unsur yang
subjektif adalah sesuatu yang kurang baik dan tidak alamiah, sehingga Cezanne
bukan melukiskan perasaannya tetapi melukis objek di luar dirinya. Objek
ditangkap bentuk-bentuk murninya (kubistis) atau menggambar motif dari satu
struktur (geometris, antropometris, anatomis, dll). Cezanne bukanlah mengekpresikan perasaannya, tetapi menganalisa
sesuatu untuk diambil bentuk dasarnya, lalu dikeluarkan lagi ke atas kanvasnya.
Seni modern adalah upaya
menangkap gejala alam secara objektif dan ekspresi adalah pewujud serta
pengantarai dari konsep yang objektif itu. Ini berarti, bukan perasaan yang mau
disampaikan, tapi konsep objektif mengenai alamiah yang diwujudkan, tanpa perspektif,
tanpa efek cahaya, tapi struktur atau motif yang menetap yang hendak ditangkap
dan diungkapkan. Dalam seni modern, unsur perasaan mulai ditinggalkan dan yang
tersisa adalah analisa. Menurut Habermas, rasionalitas-lah yang dikuasai oleh
dunia objektif. Puncak seni modern adalah distorsi dari bentuk atau mencari
bentuk yang murni seperti lukisan Pablo
Picasso, Mondrian, dll. Dari sini muncul ilmu baru seni rupa yang disebut
”distorsi” atau perubahan bentuk.
Pada 1938, pikiran S. Soedjojono (masa Persagi), pada
intinya menyatakan seni adalah otonomi, dengan semboyannya ”seni harus berjiwa
nampak”. Gaya ekspresionisme waktu itu sangat diyakini memiliki nilai
universal. Universalitas nilai estetik, individualisme, orisinalitas, menekuni
”satu gaya” menjadi ciri utama modernisme yang membawa pembaruan dengan istilah
humanisme universal. Modernisme di Indonesia kemudian dikembangkan oleh Seni
Rupa ITB dengan gaya kubistis, lalu berkembang ke arah abstrak formalisme yang
pada zaman Lekra ditentang dimana seni harus dapat dimanfaatkan sebagai sarana
sosial dan politik—sebuah perlawanan kultural yang disebut ”Seni Realisme
Sosial”. Prinsipnya, seni tidak otonom, melainkan sebagai alat/propaganda,
dipakai melakukan perbuatan sosial sebagai pengaruh marxism di Soviet.
Jim Supangkat, 13/07/2008, mensinyalir belakangan ini beredar cukup
luas pertanyaan ”apakah seni kontemporer” yang punya tujuan praktis menemukan
pengertiannya yang bisa digunakan untuk mengenali ciri- cirinya pada karya seni
(rupa). Keinginan itu tidak akan mudah terpenuhi karena ruang makna ”seni
kontemporer” kosong. Isi ruang makna ini jejak-jejak pemikiran modern yang
sudah tidak dipercayai lagi tetapi menjadi pangkal persoalan seni kontemporer.
Karena itu, upaya terbaik memahami seni kontemporer adalah mengenali
jejak-jejak pemikiran modern—berkembang sampai pertengahan abad ke-20—pada
ruang maknanya.
Pemikiran modern itu percaya
dunia modern bersifat homogen. Tidak terpecah-pecah oleh kebudayaan etnik dan
tradisi-tradisi. Dalam pemikiran modern, dunia yang terpecah-pecah ini
mencerminkan dunia masa lalu. Dipengaruhi keyakinan itu, persoalan tradisi dan
budaya tidak populer pada pemikiran modern. Para pendukungnya tidak suka
menggunakan istilah ”kebudayaan modern” walau tidak sampai menyebut istilah ini
salah.
Dalam teori-teori budaya ada
keyakinan seni adalah tanda penting budaya. Dalam pemikiran modern pemahaman
ini tersingkir. Bila seni dikaitkan dengan budaya akan muncul bermacam-macam
seni mengikuti keragaman tradisi. Pada pemikiran modern, hanya ada satu seni di
dunia modern yang homogen, yaitu seni modern.
Premis-premis seni modern ini
muncul di Eropa pada abad ke-19 melalui pemikiran filosof-filosof Kant dan Hegel. Sejumlah pandangan melihatnya sebagai terusan perkembangan
seni pada kebudayaan Barat. Namun lebih banyak yang melihatnya sebagai
pemikiran yang muncul bersama pemikiran modern lain—kebanyakan muncul di Eropa
juga.
Seni modern itu berkaitan
dengan dunia pemikiran. Seperti dikemukakan Hegel, muara dari semua ekspresi seni adalah filsafat. Mencerminkan
pemikiran modern yang mengutamakan kemajuan, seni modern percaya juga pada
keperintisan dan seni diniscayakan berjalan mendahului zamannya. Karena itu,
seni modern disebut juga seni avant garde. Demi terobosan seniman berada di
luar zamannya, di luar masyarakat dan di luar semua konvensi sosial.
Dipengaruhi materialisme — yang
mendasari seluruh pemikiran modern — seni modern mengutamakan kekonkretan
(dalam upaya memahami ”the real”).
Karena itu, manifestasi seni modern yang utama adalah seni rupa (membawa sifat
konkret). Persepsi ini membuat seni rupa menjadi ”jantung” seni modern. Pemikiran seni terkonsentrasi di dunia seni rupa ini dan sejarah seni rupa
modern dipercaya mencerminkan sejarah seni modern. Infrastruktur seni modern yang paling kompleks, megah, dan mahal — museum-museum
— adalah infrastruktur seni rupa.
Seni modern dekat juga dengan
ilmu pengetahuan yang menandai kejayaan dunia modern. Ilmu pengetahuan menggali
dunia material dengan kepercayaan pada obyektivitas. Seni modern adalah seni
yang diarahkan mencari obyektivitas (mencari the real presence of being). Seperti ilmu pengetahuan, seni modern
mengenal otoritas yaitu pranata (lembaga dan orang-orang) yang dipercaya paling
menguasai ”ilmu seni” dan mampu menentukan cutting edge perkembangan yang
menandakan terobosan baru. Persepsi ini membuat seni modern merupakan bagian
infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni dan bukan bagian dari budaya
apalagi masyarakat (kebanyakan).
Pemikiran modern itu bertahan
cuma enam dekade pada abad ke-20. Sesudah itu muncul tanda-tanda keruntuhan.
Salah satu tanda penting keruntuhan ini adalah gagalnya proyek besar konstruktivisme menghimpun semua
pemikiran dalam perkembangan seabad untuk menemukan esensi yang bisa menunjukkan
hukum-hukum alam dan kehidupan (universal
laws). Seperti kisah keruntuhan menara Babil, upaya mengatasi hambatan
bahasa dalam penghimpunan pemikiran seabad itu goyah ketika dikritik melalui gramatologi Derrida, khususnya tentang
pengertian ”presence”. Kritik ini seperti membuka kotak pandora berbagai
”keburukan” pemikiran modern tanpa bisa dicegah muncul ke permukaan.
Pada pergolakan itu, pemikiran budaya muncul ke permukaan. Pangkalnya
adalah sikap kritis melihat pengabaian budaya dan masyarakat pada pemikiran
modern yang membuat dunia modern yang dibayangkan sama sekali bukan
representasi kehidupan (modern) masa kini. Dari kritik ini muncul pemikiran
baru yang berpangkal pada pertanyaan, lalu apakah ”budaya masa kini” (contemporary culture ). Pemikiran seni
dipengaruhi pergolakan itu dan memunculkan perubahan besar dalam memahami seni.
Berkembang kesadaran bahwa
seni bukan bagian dari infrastruktur seni yang
dikendalikan otoritas seni, tetapi bagian dari budaya. Seniman tidak berada di
luar masyarakat dan karena itu ekspresi seni berkaitan dengan budaya yang
sedang dipersoalkan yaitu contemporary
culture. Dari sinilah muncul istilah ”seni kontemporer” atau contemporary art.
Dua pemikiran berlawanan arah
bisa disebutkan sebagai agenda pencarian makna seni kontemporer. Di satu sisi,
bagaimana menempatkan budaya yang mencerminkan tradisi dan keragaman ke lingkup
budaya kontemporer. Di sisi lain, bagaimana melihat globalisasi yang melahirkan
keseragaman — seperti prediksi pemikiran modern — dalam budaya kontemporer.
Di dunia tari, teater, dan
musik yang diabaikan pemikiran seni modern (sastra senantiasa dikaji terpisah)
pemahaman tentang keragaman budaya tidak menimbulkan pergolakan. Sejak dekade 1960 muncul upaya mencampurkan estetik modern dan estetik tradisi-tradisi.
Maka di dunia tari, teater, dan musik, gejala seni kontemporer sudah bisa
dibaca.
Pencapaian itu tidak terlihat
di dunia seni rupa yang di masa lalu merupakan ”jantung” pemikiran seni modern.
Terjadi upaya sulit melepaskan pemahaman seni yang sudah terstruktur.
Pergolakan pemikiran yang terjadi tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi Cartesian (mendasari pemikiran modern)
yang bipolar. Kendati terkesan paling heboh, gejala di dunia seni rupa ini telah
memacetkan pemikiran seni kontemporer dan membuat ruang makna dari ”seni
kontemporer” dianggap masih kosong.
Ketika pertanyaan, apakah seni
kontemporer meluas di Tanah Air, kehebohan di dunia seni rupa yang mencuri
perhatian itu telah membangun persangkaan bahwa persoalan seni kontemporer
adalah persoalan seni rupa. Di dunia seni rupa Indonesia, contemporary art, dibaca, dipahami, dan dikaji sebagai ”seni rupa
kontemporer”, yang lepas dari ”seni kontemporer”. Terjadi distorsi pemahaman
yang mengandung kebingungan karena tidak umum diketahui bahwa istilah ”art” dalam bahasa Inggris berarti ”seni”
dan sekaligus ”seni rupa”, sedang dalam bahasa Indonesia keduanya terpisah
dengan jelas.
Pengertian ”art” dalam bahasa Inggris itu
mencerminkan persepsi seni pada pemikiran modern yang sulit dipahami dan
membuat peluasan seni modern ke tingkat dunia menjadi gagal karena
membingungkan. Di dunia seni rupa Indonesia, muncul persoalan seni dunia yang
mutakhir, kebingungan ini merambat ke pemahaman seni kontemporer.
Seni kontemporer adalah salah
satu cabang seni yang terpengaruh oleh dampak modernisasi. Kontemporer itu
artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan
kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang
tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman
sekarang. Lukisan atau produk kriya kontemporer adalah karya yang secara
tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang
tidak lagi terikat pada Rennaissance.
Begitu pula dengan tarian, tampak lebih kreatif dan modern.
Kata “kontemporer” yang berasal
dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni
kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang
sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer
adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan
dari wacana post-modern dan post-colonialism yang berusaha
membangkitkan wacana pemunculan indegenous
art. Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para
seniman.
Secara awam seni kontemporer bisa
diartikan sebagai berikut: Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias
meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari,
musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik. Punya gairah dan nafsu
”moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis. Seni
yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan,
sebagai aktualitas berita yang fashionable.
Kaitan seni kontemporer dan seni
post-modern, menurut pandangan Yasraf
Amir Piliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer adalah seni yang
dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu. Sedangkan seni post-modern
adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa
tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni
post-modern, seni post-modern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut
masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris).
Perkembangan seni kontemporer
dalam seni rupa Indonesia, dimana istilah kontemporer ini muncul awal 70-an,
ketika Gregorius Sidharta
menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu
itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang
pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar
adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau
mungkin dianggap usang.
Konsep modernisasi telah
merambah semua bidang seni ke arah kontemporer ini. Paling menyolok terlihat di
bidang tari dan seni lukis. Seni tari tradisional mulai tersisih dari
acara-acara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara atau
seremonial saja. Seperti diungkapkan Yoserizal
Zen, Humas Pasar Tari Kontemporer di Pusat Latihan Tari (PLT), Sanggar
Laksamana - Pekanbaru yang tidak hanya diminati
para koreografer tari dalam negeri tetapi juga
koreografer tari asing yang berasal dari luar negeri. Sebanyak 18 koreografer
tari baik dari dalam maupun luar negeri menyatakan siap unjuk kebolehan dalam
pasar tari kontemporer tersebut.
Lukisan kontemporer semakin
melejit seiring dengan meningkatnya konsep hunian minimalis, terutama di
kota-kota besar. Seperti diungkapkan oleh seniman lukis kontemporer Saptoadi Nugroho dari galeri Tujuh
Bintang Art Space Yogyakarta,
”Lukisan kontemporer semakin diminati seiring dengan merebaknya konsep
perumahan minimalis terutama di kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita
memasang lukisan pemandangan, misalnya sedangkan interior ruangannya berkonsep
modern”. Hal yang senada diungkap oleh kolektor lukisan kontemporer, ”Saya
mengoleksi lukisan karena mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu
bonus,” kata Oei Hong Djien,
kolektor dan kurator lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso, kolektor lukisan
sekaligus pemilik Nadi Gallery. ”Saya membeli karena saya suka. Walaupun
harganya tidak naik, tidak masalah,” timpalnya. Oei dan Biantoro tak pernah
menjual koleksinya. Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai
lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan,
dan Widayat terpampang di sana
bersama karya-karya pelukis muda.
Pendapat lain dari datang Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat
bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu tentang post-modernisme
(akhir 1993 dan awal 1994), yang menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik
di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu.
Perlu disadari, bahwa hubungan seni dan kriya, yang
motivasi kelahiran istilah ’kriya seni’ bukan semata untuk sering
dibahas seperti seni murni, namun kelahirannya merupakan tuntutan
kreatifitas individu kriyawan yang ingin bergerak maju untuk menunjukan pada
dunia bahwa telah lahir kriya yang lain yaitu kriya seni. Kriyawan menganggap
dirinya mempunyai hak yang sama dalam menyalurkan kreasi seninya dalam rangka
tanggung jawab individu, khususnya dalam hal pengayaan ragam kriya sesuai
dengan konstelasi zaman sebagai peninggalan atau warisan bagi generasi
berikutnya.
Sejalan dengan tuntutan tersebut, juga merupakan gejolak
kriyawan, seakan bergeliat dan meloncat dengan melahirkan karya seni yang juga
disebut kriya kontemporer. Suatu gejolak yang tak mungkin ditolak dan semestinya
diakui, karena setiap jman yang ditangkap akan melahirkan teks yang sesuai
dengan konteks yaitu konstelasi jaman (Sunarya, 2003 :23).
Gerakan pembaharuan kriya dalam usaha menemukan jati
dirinya yang mengarah kriya seni sebenarnya telah lama dilakukan yaitu di tahun
1960-an oleh Gustami SP. Tentunya eksperimen ini tidak begitu saja diterima
dengan lapang dada, namun sebaliknya mendapat cemohan bahwa karya tersebut
dibilang “kriya banci”. Gerakan ini kemudian diikiti dengan timbulnya aliran
baru di kriya yaitu : “ Kriya Menyimpang” “Kriya Menor” dan sebagainya. Kriya
ini merupakan cikal bakal kriya modern, postmodern dan seterusnya
(Gustami,1999).
Terbukanya wilayah yang lebih luas dan bebas dituntut
keberanian dari para kriyawan untuk menciptakan karya-karya yang spektakler dan
keluar dari belenggu ketrampilan, dengan catatan melahirkan sebuah karya yang originalitas
dengan penuh kreasi dan gagasan dengan hasil yang sempurna.
Keragaman gaya dan teknik masing-masing bidang kriya
merupakan sebuah kekayaan yang perlu dijadikan media eksperimen kemudian
disatukan dalam sebuah perwujudan baru yaitu kriya seni. Merupakan tugas
kriyawan kreatif untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dengan melahirkan karya
yang agung dengan nilai karya yang tinggi.
Munculnya konsep-konsep baru dalam penciptaan kriya seni
yang mengarah kepada tujuan ekspresi pribadi, merupakan suatu realitas
perkembangan yang lahir berdasarkan kemerdekaan berkreasi. Perkembangan
tersebut seiring dengan perubahan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat
sekarang ini. Usaha kreatif dan inovatif bagi terciptanya karya kriya seni baru
melalui media ungkap ekspresi pribadi sangat diperlukan agar dapat mendorong
proses kreatif sesuai dengan jati diri, dengan cara menciptakan karya-karya
baru sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Sekarang ini kekriyaan memasuki
perkembangan global. Dalam proses ini seni kriya tidak bisa menghindar dari
tanda-tanda budaya yang beragam karena globalisasi, dan juga tidak bisa
menghindar dari kondisi multi-kultural dunia. Wacana industri kreatif yang
sekarang sering didengungkan berbagai pihak memberikan tantangan pada
perkembangan seni kriya di Indonesia. Pewacanaan ini didasari keyakinan yang
mempunyai pemahaman, penafsiran bahkan pandangan bersifat personal tentang seni
kriya yang mampu memberikan inovasi-inovasi kreatif yang bermuara pada
produk-produk budaya.
Produk
Inovatif merupakan kegiatan berkarya, membuat produk seni dan desain yang
terkait dengan usaha inovasi untuk memberikan pembaharuan dan munculnya kreasi
produk baru, material baru, proses baru, metode baru atau bahkan teknologi baru
yang dapat memberikan warna baru dalam kriya produk (craft). Hasil karya yang diharapkan adalah berfokus pada kreasi
baru yang memiliki identitas kepemilikan intelektual dan memberikan konstribusi
pada lingkup industri kreatif sebagai kegiatan yang bersumber dari kreativitas,
keahlian, dan talenta individu dan berpeluang dapat meningkatkan usaha ekonomi
produktif melalui penciptaan karya kriya produk.
Lukisan Keramik karya Hildawati Sidharta (alm)
Dari Buku: PRODUK KEKRIYAAN, 2011
Email: goesmul@gmail.com / Hidup dan Seni / Blogspot.goesmul.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar