Laman

Pengikut

Minggu, 04 Maret 2012

Pengertian Seni dan Kriya Kontemporer

Pengertian Seni dan Kriya Kontemporer
oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.com
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com
     
      Pada seni klasik, dapat ditemukan komposisi bentuk dan isi cerita / legenda seperti lukisan “Monalisa”, dimana tendapat spiritual abad itu tentang “perempuan” yang tidak akan ditemukan pada zaman sesudahnya. Karena adanya evolusi/difusi kebudayaan, maka terjadi perubahan yang disebabkan lingkungan dan waktu. Seni klasik jadi seni peralihan—impressionisme. Pelukis Renoir dan Manet kala itu berprinsip bahwa “manusia berjarak objektif dengan barang fisik dan manusia berperasaan lebih unggul dari benda”. Pada era impresionisme terdapat jarak sebagai batas yang tak terjembatani antara subjek dengan objek, antara manusia dengan alam.
       Kreativitas seniman terus bergulir. Bermula ditinggalkannya paradigma klasik Renaisance ke paradigma baru impressionisme (permulaan abad ke-20), lalu ekspresionisme, abstrak, dadaisme, kubisme, abstrak ekspressionisme, abstrak formalisme, pop-art, neo-dada, optic-art, minimalisme, hingga surealisme. Semua gaya (isme) yang berasal dari Barat itu menyebar dan menguasai dunia serta mengkokohkan sebagai seni modern dunia atau modernisme yang sering disebut “seni tinggi” (advance guard).
       Seni rupa modern Barat mengklaim dunia sebagai ruang lingkupnya yang berakar pada internasionalisasi ide-ide Barat yang disebut westernisasi yang kemudian membangkitkan reaksi negara-negara non-Barat. Munculnya perkembangan arus utama (mainstream) di pusat-pusat seni rupa modern yang menyudutkan seni rupa di luar Eropa-Amerika dan ditolaknya standar nilai serta perkembangan periferi di luar arus utama, dimana seluruh museum dan galeri seni rupa modern di Amerika menolak karya-karya modern Indonesia dan Thailand. Sebagai reaksi kejadian ini maka muncullah pameran-pameran internasional (KIAS) dari negara-negara nonblok (GNB).
       Modernisme pada intinya merupakan suatu keyakinan akan kemandirian nilai estetika yang harus ditingkatkan secara terus-menerus. Keyakinan tersebut melahirkan norma-norma kebaruan, keaslian dan kreativitas. Seniman dituntut untuk menciptakan keharuan dan keaslian, sehingga terjadi penolakan-penolakan sejak tahun 1960-an serta makin memuncak pada masa berikutnya.
       Pada pertengahan abad ke-20, modernisme dianggap sebagai suatu beban oleh kaum muda dan mulai ditentang, yang setelah modernisme disebut post-modernism atau post-mo, maka muncullah paradigma baru yakni seni kontemporer. Seni kontemporer memberi terobosan baru yang sangat bebas dalam pengekspresian emosi seniman dan terasa tanpa beban.
       Seni kontemporer dapat dipandang secara apresiatif sebagai kegairahan intelektual, setidak-tidaknya menjadi modal bagi tumbuhnya daya respons dalam menyongsong era baru yaitu post-modern, yang dianggap positif mengimbangi humanisme dan intelektual daripada kecenderungan dehumanisasi dan kedangkalan budaya modern yang dimotori ekonomi kapitalis yang transnasional serta inovasi teknologi yang makin canggih.
       Di Barat pada 1970-an, muncul suatu reaksi terhadap idealisme high art (advance guard) dan muncul era post-modern yang menampilkan multivariousness. Pendekatan pluralistik yang menekankan unity—kebersamaan dalam keragaman, merupakan kesamaan reaksi di arus utama terhadap standar-standar senirupa internasional sebagai arus baru perkembangan dan pemikiran seni rupa kontemporer yang lepas dari universalisme dan kaburnya batasan seni rupa modern dari seni rupa kontemporer. Pada seni kontemporer, seniman bebas menengok ke masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Dapat pula memakai kekayaan budaya tak terbatas banyaknya. Juga tiada lagi ”kebenaran tunggal” dan muncul pluralisme.
          Inilah paradigma baru seni kontemporer yang mengandung makna netral dari pengertian seni masa kini. Walaupun situasinya modern disemangati Garda Depan dengan merebaknya happening art, performance art dan seni instalasi. Juga atas kehadiran isu-isu multicultural, gender, sosial, bangkitnya spiritualisme, periferi dan lainnya.
       Kematian Zaman Modern. Post-modernism atau pasca-modernisme yang bermula dari gerakan seni masa kini telah bergeser menjadi gerakan budaya. Pergeseran ini dimungkinkan bukan hanya disebabkan basis material kebudayaan (difusi kebudayaan) seperti dari manufaktur ke reproduksi, tapi juga karena para filsuf mengumumkan ”kematian zaman modern” untuk menegakkan unity kesepakatan dalam kebersamaan sebagai dasar pembenaran yang plural sebagai paradigma baru serta wacana seni kontemporer.
       Untuk memperoleh kejelasan tentang seni kontemporer, perlu dibahas mulai dari seni modern, kemudian bagaimana seni modern akan keluar dari legenda yang menyatakan bahwa seni yang merupakan ekspresi dunia objektif (fisik) tersebut kemudian masuk ke dalam seni kontemporer atau post-mo.
       Kehidupan manusia punya dua pijakan dasar yang kuat—dunia (world) dan sikap dasar (basic attitude). Pada sikap dasar terdapat tiga jenis interest yaitu pengobjektifan, ungkapan, dan penyesuaian norma. Dunia manusia pun terdiri dari tiga—objektif, sosial dan subjektif.
       Seni dalam modernitas hanya ditemukan dalam dunia objektif dan dunia subjektif. Namun estetika dalam modernisme sebagai ekspresi hanya akan ditemukan dalam bidang yang amat khusus umpamanya erotisme. Kesenian modern bukanlah produk sosial, sikap atas rasionalitas ekspresif, sedangkan dunianya dalam dunia objektif.
       Diawali oleh Cezanne, dimana jarak antara manusia dan alam dibatasi dengan cara si subjek menguasai objek dengan mengekspresikannya. Dunia objektif dan subjektif yang terpisah dicoba disatukan walaupun dengan cara menguasai objek. Karena itu dalam seni modern, unsur yang subjektif adalah sesuatu yang kurang baik dan tidak alamiah, sehingga Cezanne bukan melukiskan perasaannya tetapi melukis objek di luar dirinya. Objek ditangkap bentuk-bentuk murninya (kubistis) atau menggambar motif dari satu struktur (geometris, antropometris, anatomis, dll). Cezanne bukanlah mengekpresikan perasaannya, tetapi menganalisa sesuatu untuk diambil bentuk dasarnya, lalu dikeluarkan lagi ke atas kanvasnya.
       Seni modern adalah upaya menangkap gejala alam secara objektif dan ekspresi adalah pewujud serta pengantarai dari konsep yang objektif itu. Ini berarti, bukan perasaan yang mau disampaikan, tapi konsep objektif mengenai alamiah yang diwujudkan, tanpa perspektif, tanpa efek cahaya, tapi struktur atau motif yang menetap yang hendak ditangkap dan diungkapkan. Dalam seni modern, unsur perasaan mulai ditinggalkan dan yang tersisa adalah analisa. Menurut Habermas, rasionalitas-lah yang dikuasai oleh dunia objektif. Puncak seni modern adalah distorsi dari bentuk atau mencari bentuk yang murni seperti lukisan Pablo Picasso, Mondrian, dll. Dari sini muncul ilmu baru seni rupa yang disebut ”distorsi” atau perubahan bentuk.
        Pada 1938, pikiran S. Soedjojono (masa Persagi), pada intinya menyatakan seni adalah otonomi, dengan semboyannya ”seni harus berjiwa nampak”. Gaya ekspresionisme waktu itu sangat diyakini memiliki nilai universal. Universalitas nilai estetik, individualisme, orisinalitas, menekuni ”satu gaya” menjadi ciri utama modernisme yang membawa pembaruan dengan istilah humanisme universal. Modernisme di Indonesia kemudian dikembangkan oleh Seni Rupa ITB dengan gaya kubistis, lalu berkembang ke arah abstrak formalisme yang pada zaman Lekra ditentang dimana seni harus dapat dimanfaatkan sebagai sarana sosial dan politik—sebuah perlawanan kultural yang disebut ”Seni Realisme Sosial”. Prinsipnya, seni tidak otonom, melainkan sebagai alat/propaganda, dipakai melakukan perbuatan sosial sebagai pengaruh marxism di Soviet.
       Jim Supangkat, 13/07/2008, mensinyalir belakangan ini beredar cukup luas pertanyaan ”apakah seni kontemporer” yang punya tujuan praktis menemukan pengertiannya yang bisa digunakan untuk mengenali ciri- cirinya pada karya seni (rupa). Keinginan itu tidak akan mudah terpenuhi karena ruang makna ”seni kontemporer” kosong. Isi ruang makna ini jejak-jejak pemikiran modern yang sudah tidak dipercayai lagi tetapi menjadi pangkal persoalan seni kontemporer. Karena itu, upaya terbaik memahami seni kontemporer adalah mengenali jejak-jejak pemikiran modern—berkembang sampai pertengahan abad ke-20—pada ruang maknanya.
       Pemikiran modern itu percaya dunia modern bersifat homogen. Tidak terpecah-pecah oleh kebudayaan etnik dan tradisi-tradisi. Dalam pemikiran modern, dunia yang terpecah-pecah ini mencerminkan dunia masa lalu. Dipengaruhi keyakinan itu, persoalan tradisi dan budaya tidak populer pada pemikiran modern. Para pendukungnya tidak suka menggunakan istilah ”kebudayaan modern” walau tidak sampai menyebut istilah ini salah.
       Dalam teori-teori budaya ada keyakinan seni adalah tanda penting budaya. Dalam pemikiran modern pemahaman ini tersingkir. Bila seni dikaitkan dengan budaya akan muncul bermacam-macam seni mengikuti keragaman tradisi. Pada pemikiran modern, hanya ada satu seni di dunia modern yang homogen, yaitu seni modern.
       Premis-premis seni modern ini muncul di Eropa pada abad ke-19 melalui pemikiran filosof-filosof Kant dan Hegel. Sejumlah pandangan melihatnya sebagai terusan perkembangan seni pada kebudayaan Barat. Namun lebih banyak yang melihatnya sebagai pemikiran yang muncul bersama pemikiran modern lain—kebanyakan muncul di Eropa juga.
       Seni modern itu berkaitan dengan dunia pemikiran. Seperti dikemukakan Hegel, muara dari semua ekspresi seni adalah filsafat. Mencerminkan pemikiran modern yang mengutamakan kemajuan, seni modern percaya juga pada keperintisan dan seni diniscayakan berjalan mendahului zamannya. Karena itu, seni modern disebut juga seni avant garde. Demi terobosan seniman berada di luar zamannya, di luar masyarakat dan di luar semua konvensi sosial.
       Dipengaruhi materialisme — yang mendasari seluruh pemikiran modern — seni modern mengutamakan kekonkretan (dalam upaya memahami ”the real”). Karena itu, manifestasi seni modern yang utama adalah seni rupa (membawa sifat konkret). Persepsi ini membuat seni rupa menjadi ”jantung” seni modern. Pemikiran seni terkonsentrasi di dunia seni rupa ini dan sejarah seni rupa modern dipercaya mencerminkan sejarah seni modern. Infrastruktur seni modern yang paling kompleks, megah, dan mahal — museum-museum — adalah infrastruktur seni rupa.
       Seni modern dekat juga dengan ilmu pengetahuan yang menandai kejayaan dunia modern. Ilmu pengetahuan menggali dunia material dengan kepercayaan pada obyektivitas. Seni modern adalah seni yang diarahkan mencari obyektivitas (mencari the real presence of being). Seperti ilmu pengetahuan, seni modern mengenal otoritas yaitu pranata (lembaga dan orang-orang) yang dipercaya paling menguasai ”ilmu seni” dan mampu menentukan cutting edge perkembangan yang menandakan terobosan baru. Persepsi ini membuat seni modern merupakan bagian infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni dan bukan bagian dari budaya apalagi masyarakat (kebanyakan).
       Pemikiran modern itu bertahan cuma enam dekade pada abad ke-20. Sesudah itu muncul tanda-tanda keruntuhan. Salah satu tanda penting keruntuhan ini adalah gagalnya proyek besar konstruktivisme menghimpun semua pemikiran dalam perkembangan seabad untuk menemukan esensi yang bisa menunjukkan hukum-hukum alam dan kehidupan (universal laws). Seperti kisah keruntuhan menara Babil, upaya mengatasi hambatan bahasa dalam penghimpunan pemikiran seabad itu goyah ketika dikritik melalui gramatologi Derrida, khususnya tentang pengertian ”presence”. Kritik ini seperti membuka kotak pandora berbagai ”keburukan” pemikiran modern tanpa bisa dicegah muncul ke permukaan.
       Pada pergolakan itu, pemikiran budaya muncul ke permukaan. Pangkalnya adalah sikap kritis melihat pengabaian budaya dan masyarakat pada pemikiran modern yang membuat dunia modern yang dibayangkan sama sekali bukan representasi kehidupan (modern) masa kini. Dari kritik ini muncul pemikiran baru yang berpangkal pada pertanyaan, lalu apakah ”budaya masa kini” (contemporary culture ). Pemikiran seni dipengaruhi pergolakan itu dan memunculkan perubahan besar dalam memahami seni. Berkembang kesadaran bahwa
seni bukan bagian dari infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni, tetapi bagian dari budaya. Seniman tidak berada di luar masyarakat dan karena itu ekspresi seni berkaitan dengan budaya yang sedang dipersoalkan yaitu contemporary culture. Dari sinilah muncul istilah ”seni kontemporer” atau contemporary art.
       Dua pemikiran berlawanan arah bisa disebutkan sebagai agenda pencarian makna seni kontemporer. Di satu sisi, bagaimana menempatkan budaya yang mencerminkan tradisi dan keragaman ke lingkup budaya kontemporer. Di sisi lain, bagaimana melihat globalisasi yang melahirkan keseragaman — seperti prediksi pemikiran modern — dalam budaya kontemporer.
       Di dunia tari, teater, dan musik yang diabaikan pemikiran seni modern (sastra senantiasa dikaji terpisah) pemahaman tentang keragaman budaya tidak menimbulkan pergolakan. Sejak dekade 1960 muncul upaya mencampurkan estetik modern dan estetik tradisi-tradisi. Maka di dunia tari, teater, dan musik, gejala seni kontemporer sudah bisa dibaca.
       Pencapaian itu tidak terlihat di dunia seni rupa yang di masa lalu merupakan ”jantung” pemikiran seni modern. Terjadi upaya sulit melepaskan pemahaman seni yang sudah terstruktur. Pergolakan pemikiran yang terjadi tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi Cartesian (mendasari pemikiran modern) yang bipolar. Kendati terkesan paling heboh, gejala di dunia seni rupa ini telah memacetkan pemikiran seni kontemporer dan membuat ruang makna dari ”seni kontemporer” dianggap masih kosong.
       Ketika pertanyaan, apakah seni kontemporer meluas di Tanah Air, kehebohan di dunia seni rupa yang mencuri perhatian itu telah membangun persangkaan bahwa persoalan seni kontemporer adalah persoalan seni rupa. Di dunia seni rupa Indonesia, contemporary art, dibaca, dipahami, dan dikaji sebagai ”seni rupa kontemporer”, yang lepas dari ”seni kontemporer”. Terjadi distorsi pemahaman yang mengandung kebingungan karena tidak umum diketahui bahwa istilah ”art” dalam bahasa Inggris berarti ”seni” dan sekaligus ”seni rupa”, sedang dalam bahasa Indonesia keduanya terpisah dengan jelas.
       Pengertian ”art” dalam bahasa Inggris itu mencerminkan persepsi seni pada pemikiran modern yang sulit dipahami dan membuat peluasan seni modern ke tingkat dunia menjadi gagal karena membingungkan. Di dunia seni rupa Indonesia, muncul persoalan seni dunia yang mutakhir, kebingungan ini merambat ke pemahaman seni kontemporer.
       Seni kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh oleh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. Lukisan atau produk kriya kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, tampak lebih kreatif dan modern.
       Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana post-modern dan post-colonialism yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art. Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman.
         Secara awam seni kontemporer bisa diartikan sebagai berikut: Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik. Punya gairah dan nafsu ”moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
       Kaitan seni kontemporer dan seni post-modern, menurut pandangan Yasraf Amir Piliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu. Sedangkan seni post-modern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni post-modern, seni post-modern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris).
       Perkembangan seni kontemporer dalam seni rupa Indonesia, dimana istilah kontemporer ini muncul awal 70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang.
       Konsep modernisasi telah merambah semua bidang seni ke arah kontemporer ini. Paling menyolok terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni tari tradisional mulai tersisih dari acara-acara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara atau seremonial saja. Seperti diungkapkan Yoserizal Zen, Humas Pasar Tari Kontemporer di Pusat Latihan Tari (PLT), Sanggar Laksamana - Pekanbaru yang tidak hanya diminati
para koreografer tari dalam negeri tetapi juga koreografer tari asing yang berasal dari luar negeri. Sebanyak 18 koreografer tari baik dari dalam maupun luar negeri menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari kontemporer tersebut.  
       Lukisan kontemporer semakin melejit seiring dengan meningkatnya konsep hunian minimalis, terutama di kota-kota besar. Seperti diungkapkan oleh seniman lukis kontemporer Saptoadi Nugroho dari galeri Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, ”Lukisan kontemporer semakin diminati seiring dengan merebaknya konsep perumahan minimalis terutama di kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita memasang lukisan pemandangan, misalnya sedangkan interior ruangannya berkonsep modern”. Hal yang senada diungkap oleh kolektor lukisan kontemporer, ”Saya mengoleksi lukisan karena mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu bonus,” kata Oei Hong Djien, kolektor dan kurator lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso, kolektor lukisan sekaligus pemilik Nadi Gallery. ”Saya membeli karena saya suka. Walaupun harganya tidak naik, tidak masalah,” timpalnya. Oei dan Biantoro tak pernah menjual koleksinya. Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Widayat terpampang di sana bersama karya-karya pelukis muda.
       Pendapat lain dari datang Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu tentang post-modernisme (akhir 1993 dan awal 1994), yang menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu.
Perlu disadari, bahwa hubungan seni dan kriya, yang motivasi kelahiran istilah ’kriya seni’ bukan semata untuk sering
dibahas seperti seni murni, namun kelahirannya merupakan tuntutan kreatifitas individu kriyawan yang ingin bergerak maju untuk menunjukan pada dunia bahwa telah lahir kriya yang lain yaitu kriya seni. Kriyawan menganggap dirinya mempunyai hak yang sama dalam menyalurkan kreasi seninya dalam rangka tanggung jawab individu, khususnya dalam hal pengayaan ragam kriya sesuai dengan konstelasi zaman sebagai peninggalan atau warisan bagi generasi berikutnya.
 Sejalan dengan tuntutan tersebut, juga merupakan gejolak kriyawan, seakan bergeliat dan meloncat dengan melahirkan karya seni yang juga disebut kriya kontemporer. Suatu gejolak yang tak mungkin ditolak dan semestinya diakui, karena setiap jman yang ditangkap akan melahirkan teks yang sesuai dengan konteks yaitu konstelasi jaman (Sunarya, 2003 :23).
Gerakan pembaharuan kriya dalam usaha menemukan jati dirinya yang mengarah kriya seni sebenarnya telah lama dilakukan yaitu di tahun 1960-an oleh Gustami SP. Tentunya eksperimen ini tidak begitu saja diterima dengan lapang dada, namun sebaliknya mendapat cemohan bahwa karya tersebut dibilang “kriya banci”. Gerakan ini kemudian diikiti dengan timbulnya aliran baru di kriya yaitu : “ Kriya Menyimpang” “Kriya Menor” dan sebagainya. Kriya ini merupakan cikal bakal kriya modern, postmodern dan seterusnya (Gustami,1999).
Terbukanya wilayah yang lebih luas dan bebas dituntut keberanian dari para kriyawan untuk menciptakan karya-karya yang spektakler dan keluar dari belenggu ketrampilan, dengan catatan melahirkan sebuah karya yang originalitas dengan penuh kreasi dan gagasan dengan hasil yang sempurna.
Keragaman gaya dan teknik masing-masing bidang kriya merupakan sebuah kekayaan yang perlu dijadikan media eksperimen kemudian disatukan dalam sebuah perwujudan baru yaitu kriya seni. Merupakan tugas kriyawan kreatif untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dengan melahirkan karya yang agung dengan nilai karya yang tinggi.
Munculnya konsep-konsep baru dalam penciptaan kriya seni yang mengarah kepada tujuan ekspresi pribadi, merupakan suatu realitas perkembangan yang lahir berdasarkan kemerdekaan berkreasi. Perkembangan tersebut seiring dengan perubahan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat sekarang ini. Usaha kreatif dan inovatif bagi terciptanya karya kriya seni baru melalui media ungkap ekspresi pribadi sangat diperlukan agar dapat mendorong proses kreatif sesuai dengan jati diri, dengan cara menciptakan karya-karya baru sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.
          Sekarang ini kekriyaan memasuki perkembangan global. Dalam proses ini seni kriya tidak bisa menghindar dari tanda-tanda budaya yang beragam karena globalisasi, dan juga tidak bisa menghindar dari kondisi multi-kultural dunia. Wacana industri kreatif yang sekarang sering didengungkan berbagai pihak memberikan tantangan pada perkembangan seni kriya di Indonesia. Pewacanaan ini didasari keyakinan yang mempunyai pemahaman, penafsiran bahkan pandangan bersifat personal tentang seni kriya yang mampu memberikan inovasi-inovasi kreatif yang bermuara pada produk-produk budaya.
         Produk Inovatif merupakan kegiatan berkarya, membuat produk seni dan desain yang terkait dengan usaha inovasi untuk memberikan pembaharuan dan munculnya kreasi produk baru, material baru, proses baru, metode baru atau bahkan teknologi baru yang dapat memberikan warna baru dalam kriya produk (craft). Hasil karya yang diharapkan adalah berfokus pada kreasi baru yang memiliki identitas kepemilikan intelektual dan memberikan konstribusi pada lingkup industri kreatif sebagai kegiatan yang bersumber dari kreativitas, keahlian, dan talenta individu dan berpeluang dapat meningkatkan usaha ekonomi produktif melalui penciptaan karya kriya produk.

 Lukisan Keramik karya Hildawati Sidharta (alm)
 Dari Buku: PRODUK KEKRIYAAN, 2011
Email:  goesmul@gmail.com / Hidup dan Seni / Blogspot.goesmul.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar