Sekilas Sejarah Islam
Indonesia
oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.com
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com.islam
Sejarah masuknya Islam ke Indonesia, ketika Khalifah Utsman ibn Affan ra. mengirim delegasi ke China untuk
memperkenalkan Daulah Islam yang
belum lama berdiri, tahun 30 Hijriah
(651 Masehi), hanya berselang 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW. Dalam perjalanannya yang perlu waktu 4 tahun itu,
para utusan Utsman ternyata sempat singgah di kepulauan Nusantara. Beberapa
tahun kemudian, tahun 674 M, dinasti Umayyah
mendirikan pangkalan dagang dipantai Sumatera.[1] Pada saat itulah
diperkenalkan dan mulai masuknya Islam ke Indonesia, banyak para pedagang
muslim datang dan berdakwah. Daerah Aceh adalah yang pertama menerima ajaran
Islam, bahkan kerajaan Islam di Pasai merupakan yang pertamakali berdiri,
diberitakan oleh Marco Polo pada
saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M / 692 H, yang menyebutkan banyak
orang Arab menyebarkan Islam. Dalam tahun 1292 M tatkala Tiongkok berada di
bawah kekuasaan Mongol, Marco Polo
(1254-1323 M), musafir Venesia (Italia), pencipta nama ‘‘porselin” mengembara
ke pantai utara Sumatera dan didapati Perla atau Aceh sudah terdapat orang Islam. Tidak jauh dari Perla, di
Basem (Pasai) rajanya sudah memeluk agama Islam yakni Al Malikus Saleh
yang wafat 1297 M. Pada abad ke -12 itulah para pelajar dan pedagang Indonesia
tidak banyak berlayar ke India Selatan, tetapi kebanyakan kapal – kapal
Indonesia berlayar ke Gujarat yaitu India Barat. Di Gujarat inilah banyak
bandar – bandar besar dan kebanyakan para pedagang di daerah ini sudah memeluk
agama Islam berbeda dengan India Selatan yang kebanyakan beragama Hindu. Dari
Gujarat ini jugalah para pedagang Indonesia belajar agama Islam dan
menyebarkannya di Indonesia.
Karena kebanyakan para pedagang itu berasal dari Andalus
Utara, maka daerah tersebut menjadi daerah Islam yaitu Samudra – Pasai. Begitu pula berita dari Ibnu Batutah, pengembara muslim dari Maghribi yang ketika singgah
di Aceh tahun 1345 M / 746 H menulis bahwa di Aceh telah tersebar mazhab
Syafi’i. Pada tahun 1303 Masehi, Ibnu Batutah itu telah sampai di Pasai, dikatakannya bahwa raja
dan rakyat Sumatera beragama Islam bermadzhab
Imam
Syafi’i dan ilmu tasauf-nya
yang terkenal. Begitulah awal masuk dan berkembangnya Islam di Sumatera hingga
kekuasaan Raja Iskandar Muda
(1606 – 1636 M), dan pantas sampai sekarang disebut “Serambi Mekkah”.
Adapun peninggalan makam
Islam tertua kaum muslim terdapat di Gresik Jawa Timur, yaitu muslimah bernama Fatimah binti Maimun
yang tertulis pada makamnya tahun 1082 M / 475 H, diperkirakan pedagang Arab,
saat itu masuk zaman kerajaan Singasari. Menurut berita Tiongkok tahun 1416 M.
tanah Jawa sudah banyak yang memeluk agama Islam. Dan berita Portugis 1498 M
beberapa kabupaten di pesisir utara sudah masuk Islam baik Bupati maupun
rakyatnya. Maulana Malik Ibrahim mubaligh yang menyiarkan agama
Islam wafat 8 April 1419 M di Gresik. Banyak lagi makam ditemukan di Gresik
diperkirakan sebagai pedagang yang sambil berdakwah mengembangkan agama Islam.
Pada tahun 1498 kapal Portugis yang pertama di Kalikut yang dipimpin oleh Vasco
da Gama, terjadilah sistem monopoli, perebutan kekuasaan dan pedagang Islam
banyak yang diusir dari bandar – bandar. Tiga belas tahun lagi, Malaka direbut
dan diduduki oleh Portugis yaitu pada tahun 1511 Masehi. Diantaranya juga
banyak pedagang dari Jawa menetap di Malaka yang menjadi pusat agama Islam di
Asia Tenggara. Di Malaka banyak terdapat orang Islam dari kepulauan Indonesia
dan bandar – bandar di Jawa banyak yang berhubungan dengan Malaka yaitu bandar
Japara, Tuban dan Gresik. Oleh sebab itu, penduduk pantai utara Jawa banyak
yang memeluk agama Islam. Demak, Tuban dan Giri menjadi pusat agama Islam di
Jawa. Masjid dan madrasah di Demak,
Kudus dan Giri sangatlah termasyur saat itu.
Hitu di Ambon kemudian
menjadi pusat agama Islam di Maluku dan Aceh menjadi pusat agama Islam di
Andalaas.
Raja Majapahit terakhir, mempunyai istri dari
China atau putri Cempo (Campa) ketika hamil dititipkan kepada Adipati
Aryo Damar di Palembang dan melahirkan disana. Bayi yang dilahirkan bernama
Raden Patah dan ibunya
dikawin oleh Aryo Damar dan
menghasilkan putra bernama Husein.
Kedua anak tersebut dididik agama Islam. Raden Patah setelah dewasa menghadap ayahnya di Majapahit dan
diangkat menjadi Adipati Bintoro di Demak. Ketika Majapahit jatuh
diserang Raja Giriwardana dari
Kediri tahun 1478, semua pusaka Majapahit dibawa ke Demak. Atas persetujuan dan
dukungan Walisongo, lalu Raden
Patah, menjadi Raja Islam pertama di Jawa dengan gelar Sultan Fatah
tahun 1500 M. Penerusnya kemudian mendatangkan ulama dari Sumatera.
Sultan Trenggono
mendatangkan Falatehan dan menyebarkan agama Islam sampai Jawa Barat dan
memimpin armada mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Penguasa kerajaan berdarah
campuran kemudian berproses seiring dengan pesatnya Islamisasi pada abad 14 –
15 M. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa
kedatangan Islam bukan sebagai penakluk seperti bangsa Potugis dan Spanyol.
Islam masuk ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang,
tidak pula dengan perebutan kekuasaan politik, masuk Nusantara dengan cara
benar sebagai rahmatan lil’alamin.[2] Pada 1527, terjadi
pertempuran bersejarah dipesisir pulau Jawa dipimpin putra Aceh berdarah
campuran Arab Gujarat, Fathahillah (Fadhilah Khan al Pasai), yang pernah
berguru di Mekkah dan bahkan turut mempertahankan Mekkah dari serangan Turki Utsmani.
Jawa Timur dan Pasuruan tunduk di bawah kekuasaan Demak.
Selanjutnya Hadiwijoyo yang wafat 1582 M., Raja Mataram Sutowijoyo
(1586 – 1601 M), hingga Sultan Ayokrowati 1601-1612 M, bersamaan
pemerintahannya inilah Belanda atau VOC
masuk Indonesia (1602).
Pada abad ke -16 terdapatlah kerajaan Islam seperti
Ternate dan Tidore di Maluku, Demak di Jawa dan Aceh di Andalas. Demak berusaha
keras mencari pengaruh ke Kalimantan dan Sulawesi, Demak juga mengirim tentara
ke Jawa Barat dan mendirikan negara Islam yang baru yaitu Banten. Dari Banten,
Cirebon, Islam terus berkembang ke Andalas Selatan. Makasar dan Banjarmasin
menjadi negara Islam pula. Dengan begitu hampir semua bandar di Indonesia
menjadi bandar Islam. Banyak kapal yang datang maupun pergi, terutama dari
Malaka, India, Tiongkok (China) dan Philipina. Kapal asing dari Eropah mulai
berdatangan karena tertarik kekayaan dan hasil bumi serta perdagangan
Indonesia. Portugis berlayar dari India dan menuju Indonesia, karena
dianggapnya negara Islam di Indonesia sangat maju perdagangannya dan hendak
mengangkut sendiri barang – barang Indonesia menuju Eropah.
Kedatangan kaum kolonial yaitu bangsa Eropa yang sangat berambisi dan
berkuasa, telah membangkitkan semangat jihad
kaum muslimin Nusantara dan pendalaman akidah
Islam, terutama kalangan pesantren (madrasah) yang terbatas pada yang bermazhab Syafi’i. Terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam dan gaya
hidup Eropa
Pengembangan Islam di Indonesia pada abad ke-16
dan selanjutnya, sebagian besar sebenarnya adalah atas usaha kaum sufi-tarekat, terutama penyebarannya oleh pedagang-pedagang
yang merantau di nusantara, sehingga tidak heran apabila pada waktu itu
pemimpin-pemimpin spiritual Islam di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan syaikh tarekat[3]. Selanjutnya Islam mendapat perhatian
khusus dari Belanda yang berkuasa karena adanya pemberontakan dan memainkan
peran penting terhadap perlawanan kepada pemerintahan kolonial, seperti yang
terjadi dalam Perang Diponegoro di Jawa tahun 1825-1830 (Pangeran Dipenegoro),
perang Padri (Imam Bonjol) dan perang Aceh (Teuku Umar), perang Cirebon (Bagus
Rangin). Ada anggapan dahulu orang Indonesia ‘bukan muslim benaran’ dan ‘muslim
yang asli’ adalah orang Arab. Dan orang yang pulang haji, seperti para kiyai
atau bergelar Kiyai Haji (KH) yang
dikatagorikan setingkat ulama sebagai pemimpin yang cenderung memberontak
melawan penjajah disamping menjalankan
agama dengan sungguh-sungguh. Raffles,
Gubernur Jenderal (1811-1816) menulis, “... setiap orang Arab yang datang dari
Mekkah, dan juga setiap orang Jawa yang kembali dari sana sesudah menunaikan
ibadah haji, di Jawa dianggap orang suci, dan sedemikian rupa
kepercayaan rakyat biasa terhadap mereka sehingga sering sekali orang-orang itu
dianggap mempunyai hubungan dengan kekuatan – kekuatan gaib. Dengan dihormati
seperti itu, tidaklah sulit bagi mereka untuk mengajak anak negeri kepada pemberontakan,
dan mereka menjadi alat yang paling berbahaya ditangan para penguasa pribumi
yang menentang kepentingan Belanda”.[4] Laporan senada
bersifat rahasia dari K.F. Holle, yang menjadi penasehat kehormatan Urusan Bumiputra, prihal tarekat Naqsyabandiyah (tertanggal 5-9-1886) kepada Gubernur Jenderal
Belanda di Batavia tentang keberadaan tarekat
Naqsyabandiyah ada di Priangan sejak
tiga puluh tahun silam dan akhir-akhir ini telah berkembang pesat, di daerah
Cianjur seluruh bangsawan telah bergabung dan ’kebangkitan Naqsyabandiyah’ inilah yang kemudian dianggap membahayakan”.[] Di masa penjajahan
kolonial dahulu seperti orang Belanda
yang berada di Indonesia ada yang hafal Al
Qur’an, tetapi bukan sebagai pemeluk agama Islam, yakni mereka meninggalkan
warisan, suatu ‘metode’ lainnya yang ampuh berupa devide et impera untuk
kepentingan “politik adu domba” yang hasilnya sangat efektif untuk dapat
memecah-belah ummat Islam.
Islam juga
dikembangkan oleh Sultan-sultan atau Sunan, termasuk Wali Songo dan para Kiyai
yang turut dalam perjuangan bangsa dalam melawan penjajahan kolonial, Jepang
dan sekutu hingga Indonesia meraih kemerdekaan.
[1] http:www.ummah.net/islam/nusantara/sejarah.html,
dan http//w.w.w. Sejarah Islam di Indonesia,
akses 10-29-2009
Hidup dan Seni
blogspot.goesmul.com.islam
goesmul@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar