Laman

Pengikut

Minggu, 04 Maret 2012

SEJARAH PRODUK KEKRIYAAN

  SEJARAH PRODUK KRIYA  BERMULA  BUDAYA MATERI
oleh Agus Mulyadi Utomo

 
       Manusia dalam kehidupan merupakan serangkaian dari masalah-masalah, dimulai dari sejak kelahirannya telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan, yang timbulnya bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau saling mempengaruhi atau saling berhubungan satu dengan lainnya.  Dengan menggunakan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan pemikiran yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak. 

       Bermula dari kebudayaan paling sederhana yang  muncul pada zaman batu. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan pengetahuan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada zaman itu. Untuk menunjang kelangsungan hidup, manusia kemudian  membuat alat-alat dari bahan-bahan yang diperoleh di alam sekitar mereka. Sebagai contoh, kapak genggam dan alat-alat perburuan yang dibuat dari tulang dan tanduk binatang.  

       Setiap saat manusia dihadapkan pada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan atau tindakan sebagai suatu reaksi terhadap suatu kebutuhan dan keadaan aman dilingkungan kehidupannya. Kebutuhan dasar yang umumnya berupa makan-minum (pangan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Dan bila sudah terpenuhinya kebutuhan dasar (jasmani-material) tersebut, lalu meningkat pada kebutuhan yang bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai-nilai tertentu, identitas dan kepribadian serta harga diri atau prestise (status-sosial-budaya) yang setiap saat berubah.

        Manusia selalu bereaksi. Karena itulah, sebagai sesuatu hal yang menyebabkan manusia melangkah untuk lebih maju dan berkembang. Tindakan untuk bereaksi juga merupakan tanggapan dari sesuatu hal akan kebutuhan, yang bisa saja timbul dari individu atau kelompok masyarakat, baik sebagai makhluk biologis maupun sebagai makhluk sosial-budaya. Bisa dengan reaksi intelektual (akal-ilmiah) atau emosional (rasa-ekspresi) yang didorong oleh kemauan atau kehendak (karsa) untuk senantiasa berusaha memenuhi akan kebutuhan dan memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui. Tindakan  berupa kegiatan yang dimulai dari berfikir, merancang hingga mewujudkan benda-benda bernilai, yang sebenarnya untuk memenuhi suatu kebutuhan adalah sebagai hasil dari olah cipta, olah akal, olah rasa dan karsa. Setiap orang tentu ada keinginan untuk bisa mengungkapkan tentang perasaannya, gagasannya, tanggapannya, pendapatnya, sikap dan pengalamannya sebagai naluri yang sebenarnya telah diwarisi  secara turun-temurun.

Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1974) adalah:
  • Pertama, sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
  • Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial; 
  • Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia yang biasa disebut kebudayaan fisik. Berupa hasil aktivitas manusia seperti benda-benda nyata atau kasat mata, dapat diraba, dan difoto, mulai benda bangunan besar dan kolosal, lalu candi-candi serta patung atau arca-arca, pakaian, perhiasan, hingga benda yang kecil peralatan hidup sehari-hari, benda magis-spiritual, juga sampai pada benda seni yang murni emosional. 

Pandangan Koentjaraningrat tersebut dalam kenyataan hidup masyarakat sehari-hari tampak sulit dibedakan satu dengan lainnya, karena bisa terjalin menjadi suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Adat-istiadat kebiasaan dan kepercayaan serta agama turut pula mengatur atau memberi arah kepada perbuatan yang menghasilkan benda-benda fisik nyata sebagai wujud dari konsep yang dianggap bernilai atau ideal. Kehadiran benda-benda tentu akan berakibat munculnya ide atau gagasan baru atau benda-benda yang baru pula, demikian seterusnya dan  bisa merupakan serangkaian sebab-akibat atau sebagai proses pembelajaran menuju suatu yang lebih baik dan berkembang.

Kemampuan pembuatan produk kriya sudah tampak dalam periode budaya agraris (agriculture), yang menunjukkan perkembangan peradaban. Perkembangan yang secara umum diikuti oleh suatu peningkatan kebutuhan hidup yaitu seperti keperluan terhadap peralatan pertanian, dapur, pakaian dan peralatan rumah-tangga lainnya, sehingga orang kemudian memproduksi beberapa produk seperti: pisau atau parang, cangkul, cawan, periuk, tempayan, pakaian, perhiasan, kursi dan mebelair serta perabotan lainnya.
         
          Salah satu cara yang paling penting dalam hubungan antara manusia secara sosial adalah melalui perantaraan benda-benda (produk). Budaya materi merupakan istilah bagi kajian hubungan manusia-benda: kajian mengenai manfaat benda-benda atau objek-objek. Dengan demikian budaya materi ini menjadi berguna, karena menunjukkan bahwa materi dan budaya selalu berkombinasi dalam hubungan-hubungan yang spesifik dan bahwa hubungan-hubungan ini dapat menjadi objek studi wilayah artefak yang dikenal luas sebagai budaya materi yang mencakup: alat, peralatan, senjata, ornamen, perkakas domestik, objek-objek relegi, barang-barang antik, artefak primitif, bahan-bahan tradisi, dan lain-lain. Produk kekriyaan sebagai artefak merupakan salah satu produk budaya materi yang sangat penting dan merupakan salah satu sarana yang melaluinya dapat diperoleh sutu hubungan dengan masa lalu. Semenjak produk kriya memainkan peran penting dalam kehidupan sosial di masa lalu, misalnya keramik yang tahan waktu atau zaman telah menjadi suatu sumber data yang bernilai untuk merekonstruksi kondisi sosial. Sehingga jejak-jejak perubahan kebudayaan yang tercemin melalui pengalihan teknologi dan gaya keramik dalam suatu masyarakat akan memberikan indikasi informasi yang bernilai tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Telaah melalui perubahan stifistik, morfologi, dan teknologi akan mencerminkan bagaimana pengaruh dari pembuatan keramik yang inovatif dalam masyarakat maupun akibat-akibat dari konteks sosial dan kultural. Oleh karena itu studi perubahan melalui produk keramik atau melalui kajian terhadap sebab-akibat atau atas reaksi terhadap perubahan tertentu dalam masyarakat pembuatnya akan memberikan informasi tersebut. Seperti juga produk karya seni murni dan arsitektur, objek-objek yang dihasilkan secara industrial dapat dilihat sebagai manifestasi perubahan dalam iklim mental dan sebagai kehendak sejarah. Karena dalam perencanaan (desain) yang merupakan upaya secara sadar untuk mengadakan tatanan yang bermakna, sehingga bentuk dari artefak manusia, melalui desainnya, dapat dipahami khususnya dalam konteks waktu. 
  
         Semua kebudayaan secara konstan berubah, tidak ada kebudayaan yang statis sepenuhnya. Bahkan dalam semua sistem sosio-kultural juga selalu mengalami perubahan, walaupun tingkat dan bentuk perubahan berbeda-beda dari situasi satu ke situasi lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat perubahan seperti: perubahan dalam lingkungan fisik, jumlah, penyebaran, komposisi penduduk, kontak dan isolasi, nilai dan sikap, struktur sosial, kebutuhan yang dirasakan, adat-istiadat dan budaya. Sementara itu perubahan pada umumnya akan mengikut sertakan modifikasi dalam lingkungan sosio-kultural atau lingkungan fisik. Lingkungan sosio-kultural lebih menunjuk pada orang, kebudayaan, dan masyarakat, sedangkan lingkungan fisik menunjuk pada tata ekologi tertentu, baik alami maupun buatan manusia (Koentjaraningrat: 1984, 90).

          Dalam studi perubahan produk kekriyaan, ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan konteks sosial dan kultural adalah: rangsangan terhadap perubahan, faktor internal dan eksternal dalam proses perubahan, dan arah dalam proses inovasi. Proses perubahan sosial dan kultural menunjukkan berbagai variasi seperti: penemuan, invensi dan difusi. Penemuan adalah suatu kegiatan untuk menjadikan sadar atas sesuatu, terkadang yang telah ada sebelumnya tidak dirasakan dan disadari. Invensi adalah suatu kombinasi baru dari objek-objek atau pengetahuan yang telah ada untuk membuat suatu produk baru atau merupakan suatu sintesis dari bahan dan kondisi atau praktek yang ada sebelumnya. Dalam konteks seperti itu, invensi dapat diartikan sebagai "pembuatan". Perubahan yang berkaitan dengan konteks sosio-kultural tersebut, kaum intelektual berperan sebagai pendahulu dalam pembentukan sistem pengetahuan masyarakat. Di samping itu terdapat kelompok-kelompok pembawa budaya tertentu yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan kontur budaya konsumen sebagai konsekuensi kemampuannya di dalam mempengaruhi perkembangan fashion, gaya hidup, seni dan budaya.

          Dalam pembentukan selera kesenian, massa disini mempunyai peranan besar dan penting, sementara itu para investor dan pasar juga ikut berperan besar sebagai pembuat cita rasa massa dan pembentuk nilai-nilai budaya bangsa. Secara luas dibangun oleh kaum intelektual yang mencakup: kriyawan, ahli, peneliti, sarjana, dan seniman serta desainer sebagai sumber daya kreativitas. Daya kreativitas yang dimiliki kaum intelektual tersebut pada gilirannya akan melahirkan berbagai inovasi baru.

          Istilah inovasi seringkali digunakan untuk mencakup hasil penemuan dan invensi tersebut, hal ini tentu merupakan pikiran, perilaku, atau sesuatu yang baru, karena secara kualitatif berbeda dari bentuk semula. Sehingga inovasi secara longgar dipandang sebagai adopsi terhadap suatu proses dan bentuk yang baru. Inovasi merupakan suatu ide atau konstelasi ide, tetapi beberapa inovasi yang melalui sifatnya kadangkala hanya tinggal dalam organisasi mental, sementara yang lain mungkin merupakan bentuk ekspresi yang tampak dan nyata.

        Inovasi pada produk kriya tampak pada munculnya proses dan bentukan produk baru, suatu produk yang berkembang yang bersifat non-tradisional. Produksi bentuk-bentuk non-tradisional ini didasarkan pada ide-ide dari luar yang tumbuh dari tuntutan konsumen yang terus berubah. Untuk memahami perubahan produk kriya sebagai konsekuensi adopsi inovasi, maka telaah yang memusatkan analisis pada masyarakat, dengan memperhatikan pertama kali pada dasar teknik produksi ekonomisnya adalah menjadi penting. Oleh karena dalam lingkup demikian terjadinya perubahan akan dapat diamati dan dirumuskan tentang perubahan-perubahan seperti teknik proses bahan baku, teknik produksi, mesin-mesin yang memproduksi, pakaian, perabotan, perumahan dan sebagainya, juga merupakan teknik-teknik, dengan melalui
perubahan-perubahan tersebut yang akan mempengaruhi masyarakat (Karl Mennhei, 1985: 119).

          Di samping hal tersebut, dalam studi perubahan produk kriya, ada tiga masalah teoritis yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan konteks sosial dan kultural adalah sebagai  rangsangan terhadap perubahan, faktor internal dan eksternal dalam proses perubahan serta arah dalam proses inovasi. Berkaitan dengan rangsangan perubahan tersebut, perlu juga memahami karakteristik dari kerajinan tangan (skill) itu sendiri.

     Secara etnografis faktor-faktor eksternal mencakup berbagai aspek integrasi, ekonomi internasional, pengenaan ekonomi uang komunikasi yang baik dan fasilitas transportasi, suatu peningkatan dalam wisata nasional dan internasional, minimnya bahan bakar dan penebangan hutan dan emigrasi dari daerah pedesaan ke kota-kota.

          Tuntutan pasar dan pengembangan pasar wisata merupakan dua kepentingan yang berkait dan berpengaruh pada sistem produk kekriyaan. Sementara itu proses inovasi dan alasan mengapa kelompok tertentu dalam suatu masyarakat memilih untuk memperbaharui pandangan inovasi dalam masyarakat pertukangan atau perajin mencakup dua hal: yakni dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Inovasi dari atas ke bawah terjadi manakala pekerja senirupa ahli yang kaya, atau paling tidak telah mapan dalam perdagangannya terikat dalam inovasi. Inovasi dari bawah ke atas melibatkan hal baru, bentuk-bentuk luar yang menduduki sesuatu yang baru, yang tidak memanfaatkan celah ekonorni sebelumnya. Proses inovasi dari atas ke bawah melibatkan pengawasan negara sebagai suatu mekanisme dari atas ke bawah yang membimbing inovasi. Sementara itu proses inovasi dari bawah ke atas berasal dari sumber-sumber di luar kontrol negara.

Evidensi inovasi dari bawah ke atas makin tampak dalam gabungan "orang-orang biasa" dan melibatkan perubahan yang mempertinggi jaminan ekonomi mereka. Sedangkan arah inovasi berkaitan dengan suatu kombinasi antara ekonomi dan
martabat (prestise), di satu sisi pembaharuan itu mernperoleh keuntungan secara ekonornis dan disisi lain mempersyaratkan kepedulian terhadap aspek-aspek kultural yang ada.

        Benda-benda fisik yang mempunyai nilai fungsi atau bermanfaat ganda baik untuk perlengkapan hidup sehari-hari maupun untuk keperluan khusus misalnya untuk tujuan keindahan atau dekoratif (pajangan) pada awalnya disebut sebagai benda-benda kriya. Benda-benda  kriya yang berasal dari daerah-daerah merupakan lambang atau citra dan cita rasa masyarakat daerah tersebut, sesuai dengan kepribadian masyarakat dilingkungannya yang tentunya ada perbedaan sedikit atau banyak dengan masyarakat daerah lainnya, karena adat kebiasaan atau kepercayan-agama atau kompleks sistem referensi yang bisa juga berbeda satu dengan yang lain. Semakin khusus dan khas gaya yang dimiliki benda atau produk kriya maka semakin mudah dikenali dan mentradisi serta berkembang mencapai puncak mutu dan kejayaan serta kemudian menjadi bersifat klasik. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda kekriyaan dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya diperlukan pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan calon mahasiswa, serta perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan-perdebatan dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil karya dan konsep pengembangan serta  pendidikan di perguruan tinggi seni. Lalu bagaimanakah kelanjutan benda-benda (produk) kriya dengan wacana kekinian dengan wawasan intelektual (ilmiah) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern di era global ? Untuk menjawabnya tentu diperlukan pemahaman dan wawasan tentang kekriyaan itu sendiri, terutama bagi para kriyawan muda, pengusaha, pelaku pasar, mahasiswa dan perajin untuk dapat memberikan arah dalam pengembangan kriya masa depan. Apalagi kini berkembang wacana dan perdebatan dikalangan praktisi dan akademisi, tentang berbagai hal tentang hasil produk kriya dan konsep pengembangannya serta  pendidikan di perguruan tinggi seni. 

       Kekriyaan memiliki flesibilitas yang tinggi, bisa berupa kecendrungan-kecendrungan, bisa perpaduan atau tergantung dari cara mendudukannya serta wawasan yang dipergunakan oleh seniman atau perajin atau desainer. Pemahaman tentang kriya perlu diperjelas dan terarah, sehingga sesuai dengan kebutuhan yang makin berkembang dan kompleks seperti kondisi masyarakat saat kini. Pengembangan seni menuju spesialisasi kriya, adalah wacana keilmuan yang khas. Untuk  bisa eksis secara mandiri, tentunya tidak berada dalam pengertian senirupa umum (awam) yang sepertinya tumpang- tindih (overlaping). Wawasan dan pengertian yang jelas akan kekriyaan sangat dibutuhkan, untuk dapat menentukan sikap yang profesional bagi mereka yang menekuni kekriyaan.    

 Sejarah Kriya Indonesia


          Ditilik dari sudut manapun tentang evolusi manusia, ternyata manusia sejak awal mulanya telah memiliki apa yang disebut akal budi dan memiliki sejumlah kebutuhan material dan spiritual. Kebutuhan hidup dan kehidupan manusia terus berlangsung dari waktu ke waktu, dari tidak memiliki apa-apa, dengan berbekal akal dan pikiran mulai berburu, menghindari ancaman musuh, menyelamatkan diri, berpakaian, berteduh, mencari ketenangan, kenyamanan, kesenangan dan sebagainya. Tidak hanya sekedar mencari makan, tetapi kemudian menetap dan bertani, berkumpul atau bermasyarakat, berbudaya dan berbudi luhur. Perjalanan hidup manusia selanjutnya menunjukkan akan peningkatan cara berfikir dan tingkat kecerdasan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan yang semakin kompleks, bahkan kemudian membayangkan, memperkirakan, memperhitungkan dan merencanakan kebutuhan hidup serta kehidupan yang akan dijalani di masa mendatang.

           Mengetahui hasil-hasil kriya masa lalu dirasakan perlu dan penting, terutama bagi generasi muda untuk dapat mempelajari dan mengembangkannya serta dapat menghargai hasil budaya sendiri.  Sejarah kriya masa lalu sangat sedikit dibahas dan diteliti, karena apresiasi dan minat akan hal itu sangat minim atau langka. Disamping itu literatur kriya kuno Indonesia yang ditulis juga sangat terbatas. Untuk itulah, penulis beranggapan bahwa diperlukan suatu tinjauan kriya kuno yang ada di Indonesia dengan metode eksploratif, yaitu menggali secara mendalam tentang kriya masa lalu dengan mendaras data yang ada dan dianalisis secara kualitatif.

           Sesungguhnya kepandaian membuat benda berbahan tanah liat di Indonesia sudah cukup tua umurnya, yaitu sejak zaman Pra-sejarah. Kemampuan membuat kerajinan ini berlangsung terus hingga memasuki zaman kerajaan Hindu dan Budha. Selanjutnya sampai zaman kerajaan Islam dan zaman Penjajahan. Dalam tulisan ini diungkap kembali hasil-hasil penemuan keramik Pra-sejarah.

           Sebagai contoh, kepandaian membuat keramik di Indonesia sebenarnya sudah tua umurnya, sebagaimana halnya sejarah keramik diberbagai belahan Dunia, seperti China, Jepang, Mesir, Yunani, Korea, Thailand, Peru, Philipina, Vietnam dan lain sebagainya. Di mana ketrampilan membuat keramik tersebut muncul dan tumbuh secara alami, ada yang tumbuh dalam waktu yang bersamaan tanpa adanya pengaruh hubungan kebudayaan satu dengan lainnya. Kepandaian membuat keramik dapat dikatakan setua manusia mengenal api dan dapat memanfaatkannya. Penemuan teknik membuat keramik ini atau pengetahuan mengenai sifat tanah liat yang mengeras setelah dibakar, diperoleh secara tidak sengaja oleh orang primitif pada zaman Pra-sejarah.

          Ralph Mayer dalam bukunya A Dictionary of Art Term and Techniques, menyatakan bahwa kebanyakan seni primitif dibuat dari kayu, batu dan tanah liat, yang diciptakan untuk beberapa tujuan relegi atau tujuan yang praktis (Mayer, 1969).  Awal mulanya keramik dibuat cenderung fungsional sebagai “wadah”. Inspirasi pembuatan wadah tersebut berasal  dari pemanfaatan buah-buahan berkulit tebal seperti  labu, kelapa dan sebagainya, yang isinya dikeluarkan. 

         Juga dari ruas-ruas pohon bambu, daun-daunan berukuran besar seperti daun pisang daun talas dan lainnya. Cekungan bekas telapak kaki dan batu pada tanah basah yang digenangi air hujan juga memberi inspirasi, dimana air yang tergenang tersebut dapat bertahan lama bahkan bisa berhari-hari lamanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, suatu ketika orang memakai keranjang bambu yang dilapisi tanah liat sebagai tempat atau wadah cairan (liquid) dan wadah semacam ini tentu tidak bertahan lama. Secara tidak sengaja keranjang tersebut dibuang keperapian dengan maksud untuk dimusnahkan. Namun yang terjadi keranjangnya musnah, sedang tanah pelapis masih tersisa dan ditemukan mengeras dengan meninggalkan bekas anyaman keranjang. Dari pengalaman-pengalaman itulah, orang mulai dengan sengaja membentuk tanah liat secara utuh sebagai wadah dan untuk keperluan religi lainnya.

             Dengan diketemukan tanah yang mengeras tersebut, secara tidak sengaja mereka telah menemukan keramik dengan unsur-unsur dekorasinya sekaligus. Lebih lanjut hiasan diterapkan secara sengaja, yaitu menggunakan kulit kerang, kulit kayu, permukaan batu, tali, anyaman, serat tumbuh-tumbuhan, kain atau benda-benda keras lain yang bertekstur atau bermotif, dengan cara mengecapkannya pada permukaan benda dalam keadaan masih basah (lembab) sebelum dibakar. 
G. Nelson, dalam bukunya yang berjudul Ceramics menulis bahwa suatu kenyataan yang ada pada benda-benda tembikar atau keramik masa Neolitik, tekstur yang banyak ditemukan adalah bekas anyaman (Nelson, 1960). Dengan demikian , jelas bahwa keramik lahir pada mulanya sebagai benda praktis dan sekaligus sebagai benda estetis.

             Di Indonesia, keramik jenis gerabah dikenal sejak zaman Pra-sejarah atau zaman Neolitikum, yaitu pada tahun 3.000 sebelum Masehi, dimana manusia saat itu sudah mulai hidup menetap dan bercocok tanam serta membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai masyarakat yang menetap, hidupnya memerlukan peralatan atau perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari, diantaranya adalah tempat menyimpan cairan (minuman) dan makanan yang dibuat dari gerabah (tanah liat).

             Para pemuka masyarakat / pemimpin, kemudian sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya, dimana orang yang dihormati dan dipercaya tersebut dianggap dapat melindungi warganya, bahkan sampai meninggalpun tatap dapat mempengaruhi manusia yang masih hidup. Muncullah suatu bentuk kepercayaan  penghormatan kepada nenek-moyang, sebagai penghormatan maka dibuatlah  perlambangan-perlambangan dan pemujaan-pemujaan untuk menenangkan arwah nenek moyang mereka. Penyertaan
benda kubur  seperti patung kecil (figurin), manik-manik serta tempat makanan dan minuman merupakan bentuk penghormatan leluhur sebagai bekal dalam perjalanan ke alam baka. Peruk kecil berisi perhiasan dan periuk besar berisi tulang-belulang adalah hasil tradisi kepercayaan masyarakat di zaman Pra-sejarah.

            Diantara Langsa di Aceh dan Medan, di pantai timur laut Sumatera, yaitu di Bukit Kulit Kerang, telah diketemukan berupa pecahan-pecahan periuk belanga. Pecahan gerabah tersebut sangat kecil, sehingga sulit diketahui bentuk atau wujud semula. Yang diketahui ada yang berhias dan ada yang polos. Hiasan yang tampak pada penemuan itu adalah berupa goresan atau bekas teraan benda keras, disamping itu ada motif bujur sangkar atau relief dan lain-lainnya. Kebudayaan kulit kerang di zaman Mesolitikum dikenal sebagai kebudayaan “ Kjokkenmoddinger”. Rupanya bentuk kebudayaan kulit kerang ini bertahan lama, sedangkan ditempat lain pada waktu yang sama telah dimulai masa Neolitikum.

Lain halnya dengan Van Es, Ia menemukan pecahan-pecahan gerabah di deretan bukit pasir tua di antara pesisir  selatan Yogyakarta dan Pacitan, menurutnya berasal dari masa Neolitik. Adapun pecahan-pecahan gerabah itu, banyak berupa hiasan anyaman dan hiasan tali atau meander. Juga di pantai selatan pulau Jawa juga ditemukan pecahan-pecahan gerabah dengan hiasan kain (tekstil). Dari hasil penemuan tersebut, kiranya pada masa Neolitikum di Indonesia sudah ada suatu kemampuan untuk mengungkapkan perasaan estetis yang diterapkan pada benda pakai keperluan sehari-hari. Benda gerabah dihias semata-mata agar benda tersebut lebih menarik saja dan akrab dengan si pemakai, tidak ada pretensi lain.
         
          Gerabah yang diselidiki oleh L. Onvlee, ditemukan di kuburan di Melolo (Sumba), mempunyai sifat yang lain lagi. Di dalam buyung (periuk-belanga) yang ditemukan terdapat banyak tulang-belulang dan tengkorak manusia. Selain itu terdapat benda kubur semacam guci atau kendi berukuran kecil, dimana leher dan kepala kendi  berbentuk kepala manusia, terkadang dihiasi gambar wajah-wajah. Pada badan kendi dihiasi dengan garis-garis yang silang-menyilang atau segi tiga, yang digores ketika tanah liat masih basah sebelum dibakar. Guci semacam kendi tersebut ada kalanya berisi kulit kerang atau semcam perlambangan untuk makanan dan minuman sebagai bekal arwah nenek moyang.

Tradisi penguburan jenazah dengan tempayan, ditemukan tersebar di berbagai tempat di Indonesia, seperti di Anyer (Jawa Barat), Sa’bang (Sulawesi Selatan), Roti (Nusa Tenggara Timur) dan Gilimanuk , Bali  (Kempers, 1960 & Utomo, 1995).

 
Keramik untuk kebutuhan rumah tangga terutama tempat makanan dan minuman masa Pra-sejarah, dibuat sangat sederhana dan kebanyakan dengan teknik tatap batu atau kayu, tanpa hiasan atau polos. Kendi, periuk, piring yang semuanya dari gerabah ada yang polos dan ada yang dihias. Berbagai fragmen gerabah ditemukan di Gilimanuk, Bali, dengan berbagai hiasan seperti tali, kulit kerang , hiasan jaring-jaring dan lainnya.

Bersamaan dengan masa Megalitikum dan Perunggu, gerabah dibutuhkan sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang, selain sebagai peralatan rumah tangga. Benda kubur berupa tempayan gerabah, manik-manik perunggu, sarkofagus batu, telah menjadi kebutuhan relegi dan perlambangan pemujaan arwah yang berkembang. Benda-benda gerabah sudah banyak  yang diberi hiasan, seperti ditemukan di Gilimanuk, di pantai Cekik oleh R.P. Soejono, yang berhias tali dan jaring dengan teknik cap. Pada masa tersebut, kemahiran teknik membuat barang-barang perunggu berkembang. Juga saat itu seni hias menghias mencapai puncaknya yaitu dengan pola geometrik atau tumpal. Masa kemahiran teknik ini kemudian dikenal sebagai masa “Perundagian
       
          Uraian tentang sejarah dan kapan mulai adanya kriya itu memang sulit ditentukan, baik urutan kronologis, waktu dan jenis benda yang dihasilkan. Sumber-sumber yang menolong untuk memperjelas hal tersebut adalah buku-buku tentang sejarah kebudayaan, sejarah seni rupa, antropologi dan sebagainya.  Berdasarkan sejarah kebudayaan menunjukkan bahwa kriya sudah ada sejak zaman dahulu yaitu pra-sejarah (neolitik). Permulaan adanya benda-benda guna lebih jelas diperkirakan sejak Zaman Batu Awal, dengan pembuatan perlengkapan sehari-hari seperti ‘kapak batu’ atau ‘kapak genggam’ yang sederhana, alat berburu seperti tombak, alat menangkap ikan, selain dari batu juga terbuat dari tulang-belulang, tanduk, kayu, pada umumnya masih berbentuk sederhana. Masa ini orang masih berpindah-pindah dan mengembara. Pada Zaman Batu Tengah, orang mulai menetap di goa-goa dan mulai bercocok tanam serta menjinakkan binatang. Perlengkapan sehari-hari sudah mulai dihaluskan dan  kapak batu sudah mulai dibentuk lebih rapi dan mulai diberi “leher” atau pegangan agar lebih mudah dipakai. Tempat penyimpanan makanan dan minuman dari buah-buahan berkulit tebal dan pakaian dari kulit kayu atau binatang serta dedaunan untuk alas dan atap tempat berteduh merupakan keterampilan yang mulai terus dikembangkan. Benda-benda kriya guna untuk tempat makanan dan minuman seperti pembuatan gerabah dari tanah liat juga telah dimulai sejak zaman ini. Pada Zaman Batu Baru, kapak batu yang disebut sebagai ‘kapak persegi bergagang’ ini telah dibentuk dan digosok halus serta diberi tangkai atau gagang. Penemuan ini menunjukkan bahwa pembuatan benda telah berdasarkan pada sebuah “konsep” yang mencakup aspek bentuk, keamanan pemakaian, teknik dan kegunaan sebagai tujuan dari pembuatan kapak tersebut.  Indonesia pada masa ini kedatangan beberapa gelombang bangsa baru ras Mongol Tua atau Palae-Mongoloid menyebar di kepulauan yang ada di Indonesia dengan membawa peradaban yang lebih tinggi dalam bercocok tanam dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat atau suku-suku. Kebudayaan Melayu Purba yang dipengaruhi kebudayaan Perunggu Tiongkok yang disebut kebudayaan Dongson ini mempengaruhi hasil kriya Indonesia yaitu dengan pembuatan ‘kapak perunggu’ yang disebut dengan ‘kapak corong’ atau ‘kapak sepatu’. Bentuk kapak ini mempunyai corong kelompang tempat memasang gagang atau seperti lubang sepatu. Kapak perunggu yang ditemukan di Indonesia ada yang berukuran besar, sedang dan kecil, ada yang polos dan ada yang diberi hiasan, ada yang pendek dan ada yang panjang yang disebut Candrasa. Kapak berukuran besar diperkirakan sebagai alat perlengkapan upacara, seperti halnya candrasa dipergunakan sebagai tanda kebesaran atau kekuasaan, bukan untuk bekerja biasa. Kapak perunggu ditemukan dibeberapa tempat seperti pulau Roti, Sulewesi dan Yogyakarta. Mereka sudah mengenal akan busana lebih baik dan perhiasan, seperti cincin, gelang, anting-anting, binggel, kalung dan manik-manik , berdekorasi motif sederhana. Munculnya tokoh-tokoh pemimpin suku dan adanya kekuatan alam serta kehadiran benda ciptaan yang dianggap memiliki kekuatan gaib serta dapat melindungi mereka melahirkan suatu bentuk kepercayaan pemujaan terhadap roh para pemimpin atau nenek moyang. Sehubungan dengan kepercayaan tersebut, manusia bekerja keras untuk menciptakan lambang-lambang tradisi spiritual yang bersifat magis untuk keperluan ritual (upacara) atau mempersembahkan hasil karya terbaik sebagai suatu persembahan kepada para pemimpin dan bekal kubur bagi yang meninggal. Kepercayan akan adanya kekuatan gaib dan pemujaan terhadap nenek moyang serta berbagai ketrampilan diwariskan kepada generasi berikutnya. Pembuatan benda keperluan sehari-hari meningkat jumlah dan mutu serta keindahannya. Di tepi danau Kerinci, di pulau Madura, ditemukan bejana perunggu yang sudah dihias dengan ukiran burung merak, rusa, bentuk segi tiga, spiral dan bentuk geometris.  

       Selain itu,  pada masa ini juga dibuat nekara perunggu, mata uang, pisau atau belati dan sebagainya.  Nekara-nekara  kemudian seolah-olah penuh dengan hiasan seperti perahu jenazah, bentuk manusia, bentuk binatang seperti burung enggang, katak, gajah, rusa, juga tumbuh-tumbuhan dan garis-garis geometris (Suwaji Bastomi, 1986). Pada masa ini ketrampilan teknik mengolah bahan logam terutama perunggu sudah tinggi, tercermin pada dekorasi atau hiasan yang begitu rumit yang terdapat pada nekara. Nekara perunggu ditemukan di beberapa daerah di Indonesia yaitu di pegunungan Dieng, desa Pejeng-Bali, Jawa Tengah, Cibadak, Banten Selatan, Bima, Pulau Selayar, Pulau Alor dan sebagainya.                     
       Bangsa Indonesia sejak zaman Neolitik atau pra-sejarah sudah pandai mengukir, membuat bejana dan membuat patung, baik berbahan batu, logam maupun dari tulang dan kayu serta dari tanah liat (gerabah).
                            
Sejalan dengan kemajuan teknik di masa yang disebut sebagai ‘prundagian” (kemahiran teknik) tersebut, produksi anyaman rerumputan, bambu, rotan untuk keranjang, dinding dan jaring-jaring, serta kain tenun dari kulit kayu sudah dimulai, dengan ditemukannya bekas-bekas anyaman, motif kain dan jaring-jaring pada benda-benda dari tanah liat (gerabah).   
          Pada abad pertama berakhirnya zaman Logam, Indonesia kedatangan bangsa yang membawa ajaran Hindu. Terjadilah kemudian alkulturasi kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli. Kebudayan yang lebih tinggi akan mempengaruhi kebudayaan yang lebih rendah. Selama 15 abad bangsa Indonesia dapat menerima kebudayaan baru tersebut berlangsung secara damai.  H. Kern berpendapat bahwa bangsa Hindu tel;ah memasukkan 10 unsur  kebudayaan ke Indonesia, yakni: gamelan, wayang, metrum, ilmu pelayaran, astronomi, mencetak uang logam, pertanian, pemerintahan, bahasa dan tulisan (Suwaji Bustomi, 1986: 66). Sejak saat itu dikenal pemerintahan yang dipimpin oleh Raja (sistem kerajaan) yang dianggap sebagai titisan dewa, mengenal ajaran agama dan kebangsawanan atau tingkatan kasta-kasta (feodalisme). Benda-benda kriya yang dipergunakan oleh Raja tidak sama yang dipergunakan oleh bawahannya apalagi oleh rakyat biasa. Ada perlakuan khusus pada benda yang diperuntukkan untuk Raja harus lebih baik, lebih indah, baik kualitas bahan maupun pengerjaannya, sebagai wujud persembahan dan darma-bakti serta penghormatan kepada Sang Raja. Percampuran kebudayaan asli dan Hindu, menghadirkan karya seni bangunan sebagai tempat tinggal Raja (istana) dan candi-candi yang hasilnya lebih baik dari sumber aslinya di India. Dinding candi dibuat relief oleh tangan trampil menunjukkan mutu yang bagus, menggambarkan adegan ceritera dengan nilai sastra yang tinggi. Candi-candi juga sebagai tempat makam raja-raja yang juga sekaligus sebagai tempat pemujaan, dilengkapi dengan
perlengkapan upacara dan pada bagian tertentu di hiasi dengan patung-patung batu atau arca logam.  Busana para Raja dan kerabatnya dibuat penuh dengan hiasan atau dekorasi yang indah tercermin pada patung dan relief yang menggambarkan keadaan saat itu. Keris juga dibuat memperlihatkan tanda kebesaran bagi yang mengenakannya, juga dianggap bertuah yang dibubuhi pamor seperti nekel, seng, monel, batu meteor, emas dan perak, yang dibuat oleh para empu sebagai prestasi kemahiran yang membanggakan. Empu yang terkenal seperti Empu Gandring dan Empu Supa. Pada akhir masa Hindu-Budha di daerah gunung Wilis terkenal pula nama Empu Kriyasana yang menurunkan Empu Kriyaguna dengan hasil karya berupa keris dengan ‘tilam putih’ yang dikenal hingga akhir kolonial Belanda (Suwaji Bustomi, 1986: 69).

          Pada zaman kerajaan Singasari dan Majapahit, motif relief beralih dari bentuk realistis pada candi Jawa Tengah menjadi seperti bentuk seperti ‘wayang’ di daerah Jawa Timur. Bentuk manusia, binatang dan tumbuhan berubah stilistis-dekoratif, melepaskan diri dari ikonografi seni India, menjadi seperti prototype wayang yang kemudian dalam perkembangannya disebut wayang purwa (Wiyoso Yudoseputro, 1978 : 38). 

       Selama masuknya kebudayaan  Islam ke Indonesia tidak banyak mempengaruhi akan bentuk dari benda-benda kriya, Benda kriya produksinya lebih ditujukan untuk tujuan perdagangan, yang kemudian mengalami perubahan dan perkembangan setelah masuknya pengaruh Eropa sekitar tahun 1522 yakni hadirnya bangsa Portugis di daerah Banten dan Ternate. Bandar-bandar kerajaan Islam ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing seperti Spanyol, Inggris, Cina, Arab, Turki, Melayu, Vietnam, Jepang, Benggala dan Belanda. Selain rempah-rempah, yang diperdagangkan adalah kain sutera,tembikar (keramik/porselin), kapur barus, perhiasan dan lain sebagainya. Kekayaan alam Indonesia menjadi perebutan bangsa asing, yang akhirnya menjadi daerah jajahan Portugis, lalu Belanda, tentara sekutu dan terakhir Jepang. Pada tahun 1619, Belanda membangun kota Batavia dan mendirikan benteng istana besar  yang didalamnya terdapat sekitar 65 opsir, ahli-ahli pertukangan (kriyawan), 70 serdadu dan 80 orang budak. Para tukang diwajibkan membuat perkakas rumah tangga, pakaian, sepatu dan sebagainya. Kemajuan bidang produksi dan teknologi baru di Eropa mempengaruhi pembuatan benda kriya di Indonesia, tenaga manusia digantikan oleh mesin-mesin (mekanisasi) atau pabrikasi. Namun demikian benda-benda kriya yang dikerjakan dengan tangan trampil masih berlangsung dan tumbuh. Sekitar tahun 1903 Pemerintah Penjajah Belanda mendirikan Departemen Van Landbouw, Niyverheid en Handel (Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan). Hasilnya benda-benda kriya-guna meningkat dan di eksport ke Paris serta Amsterdam, seperti porselin atau keramik tiruan China dan topi bambu yang juga tiruan orang China dari Manila yang tinggal di Cilingok-Tangerang.  Juga ada diproduksi payung tiruan dari Siam oleh penduduk Tasikmalaya, yang kemudian dikembangkan khusus payung wanita dengan hiasan bunga-bungaan dan motif lain yang dianggap indah yang diberi nama ‘payung Euis’, payung ini lalu dipamerkan di San Francisco pada Wold Fair tahun 1935. Yang tak kalah terkenalnya dan nilai komersialnya tinggi adalah kain batik, dengan teknik tutup-celup, bagian yang ditutup menggunakan ‘nasi pulut’ dan bahan pewarna dari tumbuhan batang daun ‘tom’ untuk warna biru tua dan ‘soga’ untuk coklat. Kemudian berkembang dengan teknik ‘batik tulis’, menggunakan alat yang disebut ‘canthing’ dengan menggunakan bahan lilin (malam) atau wax yang jenisnya bermacam-macam.  Hingga akhirnya menggunakan teknik cap yang terbuat dari logam tembaga yang disebut ‘batik cap’,
sehingga semakin meningkat produksi kain batik sebagai  industri massa, apalagi kemudian ditemukan bahan pewarna kimia (naftol). Karya batik kini telah diakui secara internasional sebagai karya bangsa Indonesia.

       Di daerah Jepara juga merupakan pelabuhan penting bagi masuknya pengaruh kebudayaan asing seperti dari Campa, Cina, India dan Arab serta Negara Eropa Barat. Industri mebel kayu berkembang dan motif ornamen yang dikembangkan yaitu dari motif yang ada di candi-candi, benda logam dan meniru gambar-gambar dari barang yang masuk ke Indonesia, seperti motif suluran daun anggur Belanda, geometris Mesir, karpet Persia dan keramik Cina.


Dari buku: Produk Kekriyaan, 2011 
email: agusmulyadiutomo@yahoo.co.id & goesmul@gmail.com  / Hidup dan Seni / Produk Kekriyaan / Blogspot.goesmul.com

Pustaka

                                                                          
Anonim, 2006. Jurnal Ilmu Desain, dalam : Imam Buchori Zainudin, Desain, Sains Desain dan Sains tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. hal. 17 – 34

Anonim,  2006. Jurnal Ilmu Desain, Widagdo, Estetika Dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. hal. 3-16

Anonim, 1995. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist  Burbank, Aimed Press, hal.18

Anonim, 2005, BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 1, Februari 2005

Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Atmosudiro, Sumijati, dkk, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, SPSP. Prv.JawaTengah dan Jur. Arkeologi FIB-UGM

Atmosudiro, Sumijati. 1984. Notes on the Tradition of Pottery Making in the Region of Kasongan, Regency of Bantul. dalam Satyawati

Donald Tamplin. 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap, hal. 7

Enget,dkk, 2008. Kriya Kayu untuk SMK, Jilid 2, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, hal. 421 – 424.

Francis, Abraham M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta.

Feldman, B.F. 1967. Art As Image and Idea. Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall Inc.

Gustami, Sp. 1985. et al., Pola Hidup dan Produk Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Gustami, Sp. 1988. Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Kontinuitas dan Perubahannya , Tesis S2 Universitas Gajah Mada.

http://www.google.co.id/produk, akses 3/08/2010

Haryono, Bedjo. 1995-1996. Pembuatan Kerajinan Tanah Liat Tradisional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman DIY.

Konperensi Kriya, 1999. Tahun Kriya dan Rekayasa 1999,  Institut Teknologi Bandung, 26 Nov” 99.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Jakarta.

Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. (Terj. Hasti T. Champion), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Manhei, Karl. 1985. Sosiologi Sistematis. (Terj: Soerjono Soekanto), Rajawali, Jakarta.

Manuaba, Bunga Rampai Ergonomi Vol. 1, Kumpulan Artikel PS Ergonomi – Fisiologi Kerja, Unud Denpasar, 1998, Hal. 1

Manuaba, Catatan Kuliah S-2 Ergonomi, 2006

Muchtar, Bud. 1991. Daya Cipta di Bidang Kriya dalam Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. B.P. ISI. Yogyakarta.

Munro, Thomas,1969. The Arts and Their Interrelations. Cleveland and London: The Press of Case Western Reserve University

Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini. Himpunan Keramik Indonesia, Jakarta.



Stark, Miriam T. and William A. Longacre. 1993. Kalinga Ceramics and New Technologies: Social and Cultural Contexts of Ceramics Change, dalam W. D. Kingery (Ed), Ceramics and Civilizition: The Social and Cultural Contexs of New Ceramic Technologies. Volume VI, The American Ceramic Society, Westerville, OH.

Sritomo W. Subroto, Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 2006, 21-22 Nopember 2006, Auditorium Ged. A-D Usakti, Jakarta, hal. 11

Soedarso Sp., 1987. Tinjauan Seni: Pengantar Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta

Tamplin, Donald, 1991. The Arts: A History of Expression in the 20th Century. London: Harrap

Virshup, Evelyn,1995. Jackson Pollok Art Versus Alchohol. dalam Barry Panter dan Virshup. Creativity and Madness: Psychological Studies of Art and Artist. Burbank: Aimed Press, 1995.

Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta

Wiyoso Yudoseputro, 1983. Seni Kerajinan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,  hal.151.

Yuswadi Saliya, 1999. Pendekatan Interdisiplin dalam Desain: Suatu Penjelajahan Awal. Hal. 785 – 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar