GURU - MURSYID
Oleh Agus Mulyadi Utomo
goesmul@gmail.com
Dalam Al Qur'an Surat Al Kahfi : 17 yang artinya: “Barang
siapa yang Allah memberi petunjuk (:kepadanya), dialah yang mendapat petunjuk.
Dan barangsiapa yang Allah menyesatkan (:kepadanya), maka tidak akan menjumpai
Wali Mursyid”.
Mursyid adalah Seorang Wali
Mursyid (Guru) adalah seorang Wali, hal tersebut dapat dilihat dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Kahfi :
17 yang berbunyi “May yahdillaahu fahuwal
muhtadi wa may yudhlil falan tajidalahu waliyam
mursyidaa”, artinya: “Barang siapa yang Allah memberi petunjuk
(:kepadanya), dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang Allah
menyesatkan (:kepadanya), maka tidak akan menjumpai Wali Mursyid”. Hadits Riwayat Atthabrani, Al Hal Hakim dan
Abu Na’im : Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
Wali-wali-Ku dari pada hamba-Ku dan kekasih-kekasih-Ku dari makhluk-Ku, yaitu
mereka yang disebut namanya, jika orang menyebut nama-Ku, dan Aku disebut bila
orang menyebut nama mereka” (sebut nama kekasih-Ku, Aku telah hadir
pada sisimu, untuk memberi pertolongan-Ku padamu, nama-Ku berada di atas nama
kekasih-Ku dan Wali-wali-Ku !) Ditegaskan lagi dalam QS. Yunus : 62 yang artinya:
“ Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran yang menakutkan mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Berikut dikisahkan dalam hadits
yaitu: Diriwayatkan dari Aisyah r.a yang menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Allah
berfirman: “Barangsiapa menyakiti kekasih-Ku, berarti ia telah menghalalkan
permusuhan-Ku. Seorang hamba yang mendekat kepada-Ku tidak cukup dengan
melaksanakan kewajiban yang Aku perintahkan. Ia harus mendekatkan diri
kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat sampai Aku mencintainya. Tiadalah
perbuatan yang memberatkan-Ku seperti kebimbangan-Ku ketika mencabut ruh
Hamba-Ku yang beriman karena ia tidak suka mati, dan Saya tidak mau
menyakitinya, padahal ia harus mati” (HR. Imam Ahmad, At-Turmudzi, Ath-Thabrani). Setiap kaum dan setiap
zaman ada yang memberi petunjuk atau Mursyidnya
(secara fisik masih hidup) seperti disebutkan dalam QS. Ar Ra’ad: 7 “Aayatum mir rabbihii innamaa anta mundziruw
wa li kulli qaumin haad”, artinya: “Sesungguhnya engkau (ini, ya Muhammad)
seorang pemberi peringatan. Dan bagi tiap-tiap golongan ada yang memberi
petunjuk”.
Mursyid Memberi Syafa’at
Memohon untuk
didoakan oleh Mursyid secara ruhaniah
(batin), yaitu semoga Allah berkenan
menghilangkan was-was yang datang dari segala penjuru kehidupan. Dan inilah
yang dikatakan tawasul. Al-Qur’an memberi petunjuk dalam ayat Kursi yang
berbunyi: ”.... man dzalladzii yasyfa’u
‘indahu illa bi idznih-i ...” ... siapakah yang akan bisa memberi syafa’at
(menjadi perantara) kepada-Nya kecuali dengan izin-Nya”. Mursyid memberi syafa’at karena hakekat yang dimaksud Mursyid adalah ruhani guru
atau Arwahul
Muqaddasah Sang Guru yang telah bergabung dengan ruhani Guru-guru
sebelumnya hingga ruhani Rasulullah SAW , yang pada masa kini dhahirnya atau jasmaninya masih hidup
sebagai Imam atau Sang pemimpin Peramalan. Firman-firman Allah SWT seperti QS. Thaahaa: 109 “Yaumaidzil laatanfa ‘usysyafas’atu illaa man
adzina lahur Rahmaanu wa radhya lahuu
qaulaa”, artinya: “Pada hari itu tidak berguna syafa’at,
kecuali syafa’at dari orang yang telah diberi izin oleh Allah Yang Maha Rahman
dan Dia / Allah telah me-ridhoi perkataannya”. Berikut dalam QS. An Nisa: 85 “May yasyfa’ syfaa’atan hasana-ay yakul lahuu nashiibun minhaa”,
artinya: “Barangsiapa yang memberi syafa’at yang baik (syafa’at menunjuki ke
jalan Tuhan) niscaya akan memperoleh bahagian (pahala) dari pada-Nya”.
Dan dalam QS. Al Ambiya: 28 “ Ya’lamu maa baina aidiihim wamaa khalfahum
walaa yasyfa’uuna ilaa limanirtadhaa wahum minkhayyatihii musyfiquun”, artinya:
“Dia
(Allah) mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan apa yang dibelakang
mereka, dan mereka tiada dapat memberi pertolongan (syafa’at) selain orang yang
disenangi-Nya sedang mereka gemetar karena takut kepada-Nya”. Dalam beberapa hadits disebutkan: Dari Utsman bin Affan; Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dihari
kiamat yang memberi syafa’at tiga golongan , yaitu: Para Nabi, kemudian Ulama,
kemudian Syuhada” (HR. Ibnu Majah).
[1] Lalu :
Dari Anas, sesungguhnya Umar bin Khaththab RA apabila kaumnya ditimpa kemarau
panjang, Dia minta hujan dengan wasilah Abbas bin Abdul Muthallib RA, lalu Dia
berdoa: Ya Allah, kami telah ber-wasilah kepadamu dengan (wasilah) Nabi kami
Muhammad SAW, lalu engkau menurunkan hujan. Dan pada hari ini kami ber-wasilah
kepada-Mu dengan (wasilah) paman Nabi kami SAW maka turunkanlah hujan. Lalu
mereka diberi hujan (HR. Bukhari
dan Baihaqi).[2] Dan juga : Dari Abu Said, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
sebahagian dari ummatku ada yang memberi syafa’at kepada golongan besar dari
manusia, sebahagian dari mereka ada yang memberi syafa’at kepada satu suku,
sebahagian dari mereka ada yang memberi syafa’at kepada golongan kecil dan
sebahagian dari mereka ada yang memberi syafa’at kepada satu orang, sehingga
mereka masuk syorga semuanya (HR.
Tirmidzi).[3]
Mujahadah
Kesungguhan dalam menjalankan al-Islam
sangat diperlukan. Dalam QS. Al Maidah : 35 disebutkan “Yaa ayyuhal ladziina aamanut taqullaaha wab
taghuu ilaihil wasiilata wa jaahiduu fii sabiilihii la ‘allakum tuflihuun”,
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan carilah
wasilah (metode untuk mendekatkan diri kepada-Nya) dan mujahadalah
(sungguh-sungguhlah beramal) dalam jalan-Nya (dengan metode itu) supaya kamu
menang / beruntung”. Seruan (panggilan) untuk orang yang percaya (beriman), tentu yg tidak percaya takkan terpanggil. Setelah beriman haruslah taat (takwa) yaitu menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. itu saja belumlah cukup, karena disuruh menemukan wasilah / cara / metode untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan masuk tarekatullah (berzikrullah) dengan amalan yang terbimbing oleh Wali-Mursyid, dimana ruhaninya bersambung sampai kepada Arwahul Muqadasah Rasulullah (arwah/ruh dari Nabi Muhammad) dan ruh tersebut tidaklah mati (fisik/jasmani sudah mati). Sudah masuk tarekat, sudah menemukan metode/cara/wasilah yang benarpun, Itu masih belum cukup, karena harus bermujahadah (sungguh-sungguh) berjuang di jalanNya itu, beristiqomah (ajeg) terus-menerus dan barulah dikatakan menang / beruntung, yaitu menang melawan keburukan / hawa nafsu setan. Demikian
pula dalam QS. Al Ankabut : 69 “Wal ladziina jaahaduu fiinaa la
nahdiyannahum subulanaa wa innallaaha la ma’al muhsiniin”, artinya: “Orang-orang
yang beriman, ber-mujahadah (bersunguh-sungguh) dalam (menuntut keridhaan) kami, niscara
Kami tunjukkan jalan-jalan (metode-metode) kami kepada mereka. Dan sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang berbuat ihsan”. Adapun tahapan tahsfiyat
(penyucian diri) yaitu tahapan peningkatan peramalan dalam bentuk
pengintensifan amalan tarekat
sehingga memperoleh pelajaran atau pengalaman ruhani adalah sebagai berikut:
1. Takholli / Takhallii, kosongkan diri dari
sifat / perangai tercela dan rendah
serta maksiat lahir - batin (pembersihan),
yaitu bersih dari najis dan hadas, maksiat lahir-batin serta hati rabbaniyyah, dll.
2. Tahallii, mengisi diri
dengan sifat-sifat terpuji dan taat lahir batin
menuju hakekat (pengisian),
yaitu ber-syariat, ber-tarekat dan ber-hakekat (mendekat dan mengenal Allah)
menuju makrifat.
3. Tajallii (percikan terang zat nur
Allah), merasakan akan rasa ketuhanan dan
sampai memperoleh pada suatu kenyataan nur
Allah (beserta nur-Muhammad) atau cahaya Tuhan (makrifatullah) – masuknya
bayangan al-Haqq dan al-Khalq ke dalam hati – sebagai puncak segala tujuan.
Teknologi Al Qur’an memang tersimpan dalam tharekatullah yang asli dan lurus
(benar) ini termasuk dalam ilmu tasawuf Islam
seperti dalam firman Allah dalam QS. Al Jin : ayat 16 “Wa al
lawis taqaamuu ‘alath thariiqati la
asqainaahum maa-an ghadaqaa”, artinya: “Sekiranya mereka berketatapan
hati pada jalan Allah (tarekat yang benar), niscaya Kami memberi minum mereka
dengan air yang berlimpah (segar)”. Dan bahwasannya jika mereka selalu
tetap berdiri teguh / memakai cara / metodologi
yang tepat dan benar / tarekat yang
benar, maka Allah akan
melimpahkan untuk mereka (minum air segar / kurnia seperti berlimpah) hujan
lebat (dari langit). Dan apabila kemudian ada berita dari orang-orang fasiq agar diperiksa lebih dahulu dengan
seksama, lihat QS. Al Hujuraat: 6 yang berbunyi “ Yaa ay-yuhal-ladziina aamanuu in jaa-akum faasiqun binaba-in
fatabay-yanuu an tushibuu qauman bijahaalatin Futushbihuu ‘alaa maa fa’altum
naadimiin”, artinya:” Hai orang-orang yang beriman, apabila
orang-orang fasiq datang membawa berita kepadamu, maka periksalah lebih dahulu
dengan seksama. Supaya kamu jangan sampai mencelakakan orang lain, tanpa
mengetahui keadaannya, sehingga kamu akan menyesal atas kecerobohanmu itu”. Juga sangat merugi apabila kita sebagai orang
yang beriman berprasangka buruk atau mengolok-olok mereka yang masuk tarekat (bertaubat) dan mengamalkan dzikir
seperti firman Allah SWT dalam surat QS. Al Hujaraat : 11 “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu laa yas khar
qaumum min qaumin ‘asaa an yakuunuu khairam minhum”, artinya: “Hai
orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan)”. Berikut lanjutannya dalam QS. Al Hujaarat : 12 “Yaa
ayyuhal ladziina aamanuj tanibuu katsiiram minazh zhanni inna ba’dhazh zhanni
itsmuw walaa tajassasuu walaa yaghtab ba ‘dhukum ba’dhaa”, artinya: “Hai
orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain
dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.
Sesungguhnya Tarekat
itu berada dalam Islam, ajaranya
merupakan pemisah, pembatas tentang yang haq dan yang batal (bathil), terutama bagi penganut tarekat
dalam seluruh aspek berfikir, bersikap, bertindak dan ber-dzikir. Bertolak dari ajaran Islam mazhab Imam Safi’i yang
bernafaskan akhlak Islam ( Hak / Kewajiban) sebagaimana sasarannya Tauhid,
sehingga menjadi hamba Allah yang
bersikap : Illahi anta maqshudi wa ridhoka math lubi (Ya Allah, hanya Engkau yang kami tuju dan
keridhaan-Mu yang kami cari / maksud). Adapun terjadi sesuatu kekeramatan, hal
ini bukan tolok ukur dan kekeramatan bukan sasaran dari tarekat. Kekeramatan dalam segala bidang bukan tujuan, tetapi
sekedar merupakan pembuktian bagi ummat Islam (si murid) tentang kebenaran
ajaran itu sendiri. Bukti tersebut harus dikelola secara benar yaitu untuk:
a) Menambah Tauhid, b) Memotivasi
menyebar luaskan kebenaran, c) Menambah unsur keislaman, keimanan, ketaqwaan, keihsanan, dan keakhlaqkan,
d) Meningkatkan amal dan ibadah, e)
Menambah wawasan pengetahuan Islam, f)
Giat berkarya dan berubudiah, g)
Membuat bahagia dan optimis dalam hidup dan kehidupan. Segala sesuatu diluar
ajaran Islam tentunya hukumnya batal.
Bersama 'Persatuan Tarbiyah Islamiyah', Agus Mulyadi Utomo diterima Soeharto di Istana Presiden RI, Agustus 1994
[1] Kitab:
Sunan Ibni Majah hal.1443 Jilid II.
[2] Kitab: Matnul
Bukhari hal.179 Jilid I dan Sunan Al
Kubra hal. 352 Jilid III lil Imam Al Baihaqi.
JALAN UNTUK MENCAPAI MA’RIFAT
KOMONITAS SURAU
Manusia
di beri kepercayaan penuh oleh Allah Swt untuk menjadi pemimpin
(chalifah) di muka bumi, hal ini jelas di nyatakan dam Al-Qur’an Surah
Al-Baqarah Ayat 30 yang berbunyi : “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para malaikat : “Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata :
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (chalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman : “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Menjadi
pemimpin ini di mulai dari memimpin diri sendiri (hawa nafsu), keluarga
dan kemudian berkembang kepada sahabat dekat dan masyarakat luas di
lingkungannya, kepercayaan Allah Swt mendapatkan protes dari kalangan
para malaikat maupun iblis dengan berbagai alasan yang berbeda, para
malaikat protes karena manusia umumnya suka berbuat kerusakan dengan
berbagai sifat tercelanya, sedangkan iblis protes karena merasa
derajatnya lebih tinggi dari manusia yang terbuat dari tanah sementara
dia sendiri terbuat dari api. Malaikat setelah mendapat penjelasan
segera mengikuti perintah Allah Swt dan mengakui akan kekhalifahan
manusia di muka bumi sesuai dengan firman Allah Swt, sementara iblis
tetap membangkang untuk menghormati manusia (adam) seperti yang
tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra’ Ayat 61 yang berbunyi :
“Dan
(ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat : “Sujudlah
kamu semua kepada Adam”, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata :
“Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?”
Dengan
demikian iblis tetap bertahan dengan kesombongannya dan meminta
dispensasi kepada Allah Swt agar di beri umur hingga hari kiamat guna
untuk membujuk dan mengajak manusia kepada kesesatannya, Allah Swt maha
pemberi permintaan dan mengabulkan permohonan iblis tersebut, maka
jadilah dia musuh yang nyata bagi Allah Swt dan para manusia, seperti
dialog antara iblis dengan Allah Swt pada Surah Al-Israa’ Ayat 62-65 :
“Dia
(iblis) berkata : “Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau
muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku
sampai hari kiamat, niscaya benar – benar akan aku sesatkan
keturunannya, kecuali sebahagian kecil”. “Tuhan
berfirman : “Pergilah, Barangsiapa di antara mereka yang mengikuti
kamu, maka Sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai
suatu pembalasan yang cukup.” “Dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan
kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak – anak dan
beri janjilah mereka, dan tidak ada yang di janjikan oleh syetan kepada
mereka melainkan tipuan belaka.” Artinya : “Sesungguhnya hamba – hambaKu, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka, dan cukuplah Tuhanmu sebagai Penjaga.” Surah Al-A’raf Ayat 16-17
“Iblis
menjawab : “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar –
benar akan (menghalang – halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.” Artinya
: “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat).”
Tujuan hidup
manusia semestinya adalah untuk beribadah kepada Allah Swt dengan arti
melaksanakan segala sesuatu yang baik dan meninggalkan segala sesuatu
laranganNya, untuk tujuan manusia ini maka iblis bersumpah guna
menyesatkan manusia dengan berbagai cara dengan segenap kekuatan bala
tentaranya (syetan) sampai hari kiamat.
Ketaqwaan adalam
melaksanakan segala perintah Allah Swt dan RasulNya harus dengan sunguh –
sungguh agar dapat mengalahkan bujuk rayuan dari iblis dan syetan yang
masuk pada diri manusia tanpa terasa dan di sadari. Hati merupakan
hal yang paling halus pada manusia, hatilah yang menggerakkan seluruh
anggota badan, hati juga dapat menjadi penghubung antara manusia dengan
tuhannya, Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an Surah Az-Zumar Ayat 17-18 : “Dan
orang – orang yang menjauhi Thaghut (iblis/syetan) tidak menyembahnya
dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba – hambaKu.” “Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya, mereka itulah orang – orang yang telah di beri Allah petunjuk
dan mereka itulah orang – orang yang mempunyai akal. Hati
ini perannya sangat penting, karena Allah Swt meletakkan nur (cahaya)
keimanan yang bersifat Lathaif (lembut) dan sifat Rabbaniyah (keyuhanan)
dan Rohaniyah (rohani), dengan nur yang terdapat dalam hati makanya
manusia dapat mengenal tuhannya (ma’rifat), nah apabila hati ini
senantiasa di didik dengan dzikrullah, maka dapat memancarkan mata air
ilmu laduni kedalam hatinya, ini adalah karunia Allah Swt yang tak
ternilai bagi manusia.
Hati sebagai tempat berkumpulnya ilmu
hakikat karena dia adalah salah satu lathaif untuk mencapai tahap
mengerti akan Allah Swt dan dari sinilah yang mengatur sekalian anggota
jasmani (zahir) dan hati juga sebagai penembus hakikat segala sesuatu,
karena begitu pentingnya hati ini, maka syetan menyerang manusia
mengutamakan dari titik strategis ini (hati) dengan bisikan – bisikannya
yang menghanyutkan serta terbuai, padahal sesungguhnya hal ini adalah
kesesatan akan Allah Swt dan mendurhakaiNya. Hati apabila sudah di
huni atau di tutupi oleh syetan, maka hati tersebut tidak akan
mendapatkan nur illahi, jadi jika hati telah di tutupi oleh iblis dan
syetan, maka yang utama baginya adalah hawa nafsu yang membawa kepada
durhaka terhadap Allah Swt dan RasulNya, hati apabila telah buta maka
mendatangkan sifat jahil dan lalai, jahil ini di sebabkan sifat tercela
yang di tanamkan oleh syetan tanpa di sadari karena tingkat keimanan
yang lemah dan tidak mau tahu untuk beribadah yang selalu melalaikannya. Sifat
yang di tanamkan oleh iblis dan syetan berupa syirik, takbur, sombong,
iri hati, dengki, rakus, loba, tamak, kikir, bakhil penzina dan lain
sebagainya yang sifatnya serba buruk dan jelek, oleh karena itulah
makanya hati harus selalu kita isi dengan dzikrullah untuk membentengi
hal tersebut dan kita selalu minta perlindungan kepadaNYa, agar di
jauhkan dari terhempasnya kepada lembah kehinaan dan kenistaan, hati
jangan sampai menjadi buta karena memperturutkan sifat tercela, ini di
siratkan oleh Allah Swt dengan firmanNya pada Surah Al-Haj Ayat 46 : “Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” Hati
yang begini berarti sudah berpenyakit dan kotor berdebu yang dapat
menutupi terbukanya akan cahaya keimanan, penyakitnya adalah segala
sifat yang tercela (buruk), maka ini harus segera di obati, obatnya
adalah dengan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Swt dengan berbagai
cara, termasuk melazimkan dzikir pada hati tersebut, karena sekali lagi
penyakit ini sangat berbahaya dan menjerumuskan manusia ke neraka
jahannam, na’uzubillahi min zalik.
Surah At-Taubah Ayat 125 yang berbunyi : “Dan
adapun orang – orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka
dengan itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang
telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.”
Bersihkanlah
hati dari kehendak hawa nafsu yang keji, ini fardhu ‘ain hukumnya,
tetapi pekerjaan ini sangat sulit tanpa di imbangi dengan riyadhah
(perjuangan) yang kuat dan sunguh – sungguh, tasawwuf mengobati penyakit
hati dengan melazimkan dzikrullah setelah ibadah yang fardhu atau wajib
dan mereka senantiasa istiqamah dengan hal ini, karena mereka tahu
dengan pasti akan bahayanya yang dapat menghela kepada kemusyrikan damn
kesesatan di sebabkan oleh kerjanya para iblis dan syetan ini. Senantiasa
bertaubat, taubat akan segala kesalahan dan perbuatan dosa yang jelas
dan nyata utamanya, seterusnya taubat akan segala kelalaian dalam ingat
kepada Allah Swt, latihannya selalu dengan berhadap hati (tawajjuh)
kepada Allah Swt dan senantiasa bertaqarrub kepadaNya, dengan selalu
ingat kepada Allah Swt maka dapat menolak akan bujuk rayu syetan,
seperti firmanNya dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 152 : “Karena
itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku.” Rasulullah Saw juga bersabda mengenai hal ini : “bahwasanya
hati itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah
dzikrullah, bagi setiap sesuatu itu ada alat pembersihnya, dan alat
pembersih hati adalah dzikrullah, dan jauhkanlah syetanmu itu dengan
ucapan LAILAHAILLALLAH MUHAMMADURRASULULLAH, karena syetan itu akan
kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta
salah seorang kamu sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan di
atasnya, dzikir kepada Allah swt menjadi benteng dari godaan syetan.” Dzikir
adalah mengingat Allah Swt, dengan setiap ibadah, seperti sholat,
zakat, puasa, haji, dan lain – lain yang di lakukan semata – mata atas
nama Allah Swt atau dengan mengingat Allah adalah dzikir, tetapi di
samping pelaksanaan hal – hal tersebut, laksanakanlah dzikir dengan
secara khusus, yang merupakan cara pembersihan ruhaniyah manusia pada
sisi Allah Swt (hati) secara ajaran tata cara sufiyah atau tasawwuf,
yaitu dengan menyebut dzikir atau Allah dengan sendirian maupun
berjama’ah dengan tata cara dan kaifiyat serta maqamat atau lathaif
penempatannya pada bathin, untuk hal ini maka di perlukan seorang guru
pembimbing dalam hal berdzikir cara tasawwuf atau sufi.
Hidup dan Seni.blogspot.goesmul.com/agama islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar