Laman

Pengikut

Selasa, 06 Maret 2012

Kontroversi Hukum Islam Tentang Seni Rupa

Kontroversi Hukum Islam Tentang Seni Rupa 
oleh Agus Mulyadi Utomo
Ada banyak sekali pendapat mengenai seni rupa di dalam Islam. Pandangan kaum konservatif yang populer pada awal kemunculan Islam beranggapan bahwa segala bentuk peniruan adalah usaha yang menyaingi kesempurnaan Tuhan dan wujud keinginan menciptakan Tuhan baru. Tetapi masa kini banyak pula yang menyatakan bahwa bagaimanapun hasil penciptaan manusia tetap tidak akan bisa menyamai apa yang telah diciptakan Tuhan ataupun Tuhan itu sendiri, sehingga seni rupa tidak bisa dianggap sebagai penjiplakan biasa saja, tetapi diiringi pula dengan kreatifitas manusia atau stilasi bentuk yang ada. Dalam seni terangkum makna yang juga bisa sampai kepada memperlihatkan keagungan dan kebesaran dari Allah yaitu Tuhan Sang Maha Pencipta itu sendiri, sebagai pengingat ataupun nasehat untuk selalu memuji dan membesarkan namaNya. Sementara pendapat lain terbentuk atas pengaruh kebudayaan Eropa dan Barat, yang menganggap proses seni rupa adalah suatu hal yang normal saja, yang sama sekali tidak bisa dianggap sebagai usaha menciptakan makhluk baru ataupun Tuhan baru, sehingga sama sekali tidak perlu dilarang. Apalagi pemikiran masa kini cukup kritis dengan intelektualitas yang tinggi dan memasuki babak baru IPTEKS.
Ungkapan atau ekspresi dan spirit seni dalam Islam adalah rasa akan adanya  keindahan, bahwa Islam sebagai agama yang agung telah menanamkan kecintaan dan rasa keindahan itu. Rasa indah itu yang disadari atau pun tidak, ada sedikit atau pun banyak terutama dari dalam lubuk hati yang paling dalam pada diri muslim. Pada mereka yang membaca Al Qur’an memperolehnya perasaan itu secara meyakinkan. Berdasarkan ajaran agama Allah, dalam Al Qur’an tersurat dan tersirat menginginkan agar setiap muslim, mukmin dan mukhsin agar dapat menyaksikan keindahan yang Allah perlihatkan terbentang luas di alam dunia ini, suatu keindahan yang terhampar di cakrawala ilahi. Dari benda-benda mati sampai dengan makhluk hidup ciptaanNya tampak menarik dan indah, ada keseimbangan, ada manfaat dan ada tujuannya. Paa hakekatnya Allah yang membaguskan dan mengatur serta mendesain secara detail sesuatu yang ada. Firman Allah SWT yang artinya: ”Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya” (QS. As Sajdah: 7). Lalu : ”Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang” (QS. Al Mulk: 3). Dan : ”(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu” (QS. An Naml: 88).

Ternyata Al Qur’an dapat membangkitkan atau merangsang pikiran, pandangan mata atau pandangan hati, suara dan bunyi, perkataan dan perbuatan untuk mengungkapkan rasa syukur, haru, hikmat dan hikmah, kegembiraan, kebahagiaan, keindahan dan keagungan, bahkan kebajikan baik terhadap diri,  sesama, lingkungan sosial maupun terhadap alam sekitar, yang juga memberikan suatu pengharapan, penghargaan yang tinggi, rasa tentram dan damai. Sentuhan seni sastra dalam membaca dan mendengarkan Al Qur’an terutama bagi mereka yang berfikir dan yang merenungkan dapat menjadikan penawar bagi jiwa yang bergejolak dan haus siraman ruhani, bukan lantaran isi dan kandungannya saja, tetapi termasuk gaya membaca dan suara merdu nan  indah yang menggetarkan qalbu. Karenanya pula Nabi SAW BERSABDA KEPADA Abu Musa, ”Sesungguhnya kami telah diberi seruling dari seruling-seruling keluarga Dawud” (HR. Bukhari dan Tarmidzi). Semua itu terpancar dari apa yang dihasilkan dalam peradaban Islam  itu dan sesuai zamannya.  

Dalam peradaban Islam, lebih banyak  menaruh perhatian kepada usaha memindahkan orisinalitas alam ke berbagai bentuk media karya seni seperti bangunan, keramik, pakaian, permadani dan tapestry, ornamen, ukiran, mebel, lukisan, perabotan rumah tangga, tari, musik, sastra, fotografi dan film serta pertunjukan. Islam melahirkan berbagai macam karya seni yang mampu mencerahkan moral-spiritual serta peradaban yang unik dan menarik seperti kaligrafi, ornamen dan ukiran yang menghiasi banyak masjid dan gedung-gedung, gagang perabotan dan pedang, bejana dari logam (besi, emas, kuningan, perak, tembaga, dll), perhiasan, keramik atau tembikar, kayu dan sebagainya.

Sesungguhnya Islam mendukung kreasi seni, namun dengan syarat-syarat tertentu, yaitu yang dapat mendatangkan manfaat atau membangun dan bukan yang mendatangkan mudharat dan merusak. Disebut seni Islam apabila penampilannya tidak melanggar syari’at Islam dan tidak melanggar kesusilaan serta nilai akhlaq.  

Seni merupakan suatu tema yang cukup penting dan berhubungan langsung dengan emosi pribadi dan perasaan masyarakat muslim, yang kehadirannya tak terelakkan lagi. Seni Islam dapat membangun kecenderungan, selera, orientasi kejiwaan, kedalam berbagai perangkat yang didengar, dibaca, dilihat, dirasakan, direnungkan sampai dengan mempraktekkannya. Seni akhirnya tak berbeda dengan halnya sebagai ilmu pengetahuan, yang bisa dipergunakan untuk kebaikan atau bisa juga untuk kejahatan, tergantung dari kadar pengaruhnya. Karena seni yang dihasilkan tersebut tentunya mempunyai maksud dalam penciptaannya. Sehingga niat dan konsepsinya menjadi penting untuk disimak sebagai barometer seni Islam yang dianggap bermutu. Jika ada sesuatu yang yang dianggap halal atau haram, maka hukumnya jelas mengikutinya.

Pandangan dan konsepsi seni terus bergulir mengikuti zaman dengan kemudahan-kemudahan material dan informasi-komunikasi global. 
Periode ekspansi yang cepat dari era Islam bentuk-bentuk awal yang cukup akurat untuk label seni Islam. Batas geografis awal dari kebudayaan Islam berada di masa kini adalah Suriah. Hal ini cukup sulit untuk membedakan objek Islam paling awal dari para pendahulu mereka dalam bahasa seni Persia atau Sassania dan seni Bizantium. Ada produksi yang signifikan terutama unglazed keramik, dapat disaksikan  berupa mangkuk kecil yang tersimpan dalam Louvre, yang menjamin prasasti ini sebagai atribut untuk periode Islam dengan motif vegetatif yang paling penting produksi awal ini.

Pengaruh dari tradisi artistik Sassania termasuk citra raja sebagai seorang prajurit dan singa sebagai simbol kemuliaan dan kejantanan. Seni Badui mewakili tradisi kesukuan geografis dari "pribumi" sebagai hegemoni artistik. Uang logam saat itu dan logam yang diimpor  digunakan untuk perdagangan dengan Bizantium.

Seni Islam bukan hanya berkaitan dengan agama. Istilah "Islam" oleh banyak pengamat tidak hanya mengacu kepada agama, tetapi beragam budaya Islam dan juga diperuntukan bagi orang kaya yang menyukai kemewahan. Seni Islam ini sering mengadopsi unsur-unsur yang bersifat sekuler dan unsur-unsur yang disukai kalangan berada, jika hal itu tidak dilarang oleh para ulama atau teolog Islam.

Seni Islam dikembangkan dari berbagai sumber: Roma, seni Kristen awal, dan Byzantium diambil alih gaya dalam Islam awal seni dan arsitektur pengaruh dari Sassania seni pra-Islam Persia adalah yang terpenting makna; gaya Asia Tengah dibawa masuk dengan berbagai nomaden penyerangan; dan Cina memiliki pengaruh efek penting Islam lukisan, keramik, dan tekstil.

Ada elemen-elemen berulang dalam seni Islam, seperti penggunaan motif geometris dari bentuk tanaman atau tumbuh-tumbuhan dan bunga atau desain dalam suatu pengulangan yang dikenal sebagai endy. The endy, dalam seni Islam sering digunakan untuk melambangkan transenden, terpisahkan dan sifat tak terbatas Allah. Kesalahan dalam pengulangan mungkin saja disengaja diperkenalkan sebagai suatu yang menunjukkan akan  kerendahan hati oleh seniman pembuatnya, yang percaya bahwa hanya Allah saja yang dapat menghasilkan suatu  kesempurnaan, meskipun teori ini oleh banyak pihak masih diperdebatkan .  

Sebagian besar muslim Sunni dan Syiah percaya bahwa penggambaran visual semua makhluk hidup pada umumnya dilarang atau tidak lazim, karena ada anggapan dapat mempengaruhi secara kejiwaan. Meskipun demikian, penggambaran manusia dapat ditemukan dalam semua era seni Islam. Perwakilan manusia untuk tujuan ibadah dianggap perwujudan dari penyembahan berhala dan sebagaimana mestinya dilarang dalam hukum Islam, yang dikenal sebagai hukum Syariah (undang-undang). Ada juga banyak penggambaran Muhammad, nabi Islam utama, dalam sejarah seni Islam.

Tidak ada ungkapan pernyataan yang langsung bisa diterima begitu saja.  Dan berlaku juga pada seni dunia Islam. Seni budaya yang mencerminkan nilai-nilai ummat Islam menjadi syarat, tetapi yang lebih penting juga yakni  cara di mana para penganutnya bisa melihat alam jasmani dan adanya alam ruhani, alam semesta, kehidupan, dan hubungan dari bagian-bagian ke keseluruhannya.

Untuk kalangan ummat muslim, realitas umumnya dimulai dari yang Mahakuasa, yang Maha Mengetahui, yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, tentu berpusat sekitar Allah , yang Satu, yang Unik, yang Berdaulat, yang Suci (kudus). Semua eksistensi harus tunduk pada kehendak-Nya dan hukum-Nya. Dia adalah pusat aspirasi-inspirasi seni ummat dan peradaban Islam, yang sadar akan ibadah dan amal sholeh serta yang berfokus pada kehidupannya dan juga lingkungannya.

Karena adanya semacam seruan dan perintah pada otoritas adalah ’satu’, tentu segala sesuatu akan terikat bersama di bawah Yang Mulia Allah , sebagai bagian dari sebuah citra ilahi yang mencakup semua skema, yang mencakup semua aspek yang ada dan hidup - apa pun yang baik di dalam dan di luar ruang dan waktu, dan merangkul keduanya makrokosmos dan mikrokosmos dalam manifestasi yang paling mengagumkan. Allah menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya sebagaimana seperti yang Dia kehendaki, dan segala urusan kembali kepada-Nya untuk keputusan tertinggi dan dalam hal penghakiman.

Dengan sistem kepercayaan inilah, kemudian ummat muslim meyakini bahwa segala sesuatu yang ada dari adanya keseimbangan dan harmoni. Bahkan ketika tampaknya ada kontradiksi didalamnya yang membingungkan, atau ketidak seimbangan, merupakan refleksi dari pemahaman manusia yang terbatas dan kurangnya ilmu pengetahuan. Tidak ada sebenarnya yang dilihat manusia sebagai kejadian secara acak atau secara kebetulan, karena itu semua adalah bagian dari rencana Allah, yang Maha Bijaksana dan lagi Maha Penyayang. Salah satu kepercayaan penting muslim adalah bahwa hal-hal yang bersifat totalitas, dari semua kebaikan dan kejahatan, merupakan takdir Allah, lanjutan dari rencana Tuhan dari segala sesuatu.

Karena perintah dan peringatan yang ketat pada awalnya terhadap penggambaran makhluk hidup seperti manusia atau hewan yang mungkin mengakibatkan penyembahan berhala, maka seni Islam mengembangkan karakter yang unik, yakni menggunakan sejumlah bentuk-bentuk utama: misalnya motif geometris, endy, bunga, dan kaligrafi, yang sering kali terjalin dengan indahnya. Sejak semula, seni Islam ini telah mencerminkan keseimbangan dan keharmonisan dalam memandang dunia kehidupan.

Kesenian Islam baru berkembang dan mencapai puncak kejayaan pada saat Islam sampai di daerah-daerah Afrika Utara, Asia Kecil, dan Eropa. Daerah-daerah tersebut didefinisikan sebagai Persia, Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium, India, Mongolia, dan Seljuk. Di daerah-daerah tersebut, Islam membaur dengan kebudayaan setempat. Terjadilah pertukaran nilai-nilai Islam dengan budaya dan seni yang menghasilkan ragam seni yang baru, berbeda dengan karakter seni tempat asalnya. Seni Islam mungkin merupakan ekspresi paling gampang peradaban yang kompleks yang sering tampak penuh teka-teki bagi orang luar. Melalui penggunaan warna cemerlang dan desain yang luar biasa dan keseimbangan antara bentuk seni Islam menciptakan dampak visual langsung. Estetika yang kuat melampaui jarak dalam ruang dan waktu, serta perbedaan bahasa, budaya, dan keyakinan. Seni Islam tidak hanya mengajak melihat lebih dekat tapi juga mengundang pengunjung untuk belajar lebih banyak. Untuk penonton Amerika kunjungan ke galeri Islam seperti sebuah museum Los Angeles County Museum of Art dapat mewakili langkah pertama menuju menembus sejarah suatu agama dan budaya yang sering dalam berita tetapi kurang dipahami.

Lintasan Islam di Afrika, Seni Islam sudah menyebar ke Afrika utara pada pertengahan abad ketujuh Masehi, hanya beberapa dekade setelah Nabi Muhammad pindah dengan para pengikutnya dari Mekkah menuju ke Madinah, tetangga dari Jazirah Arab (622 M / 1 H). Pada sebuah kerajaan yang terbentang lebih dari tiga benua, puncaknya pada penaklukan terhadap Spanyol mendorong pasukan Arab sampai sejauh Sungai Indus, hanya seratus tahun setelah wafatnya Nabi, yaitu antara abad kedelapan dan kesembilan, para pedagang Arab dan pelancong, kemudian oleh ulama Afrika mulai menyebarkan agama di sepanjang pantai Afrika timur dan barat dan tengah. Sudan (harfiahnya, "Tanah bangsa kulit hitam"), merangsang perkembangan masyarakat perkotaan. Mengingat yang disosialisasikan atau dinegosiasikan adalah pendekatan praktis untuk situasi budaya yang berbeda, ini mungkinkan sebagai pilihan atau alternatif untuk kemudian mempertimbangkan Islam di Afrika sebagai suatu kesatuan gerakan sejarah.

Mengkonversi Islam pertama di Sudan adalah para pedagang, diikuti oleh beberapa penguasa dan istana (Ghana pada abad XI dan Mali pada abad XIII), bagaimanapun juga tetap menyentuh pada masyarakat petani dipedesaan. Pada abad kesebelas, para Murabitun mengintervensi sebagai pengamat yang ketat pada hukum Islam, dari pimpinan sekelompok orang nomaden barbar yang mewarnai proses konversi momentum baru dalam kerajaan Ghana dan sekitarnya. Penyebaran Islam di seluruh benua Afrika bukanlah secara simultan atau seragam, tetapi mengikuti jalan yang bertahap dan bersifat adaptif. Namun, satu-satunya dokumen tertulis yang dimiliki untuk periode yang sedang dipertimbangkan berasal dari sumber-sumber Arab (misalnya oleh al-Bakri dan Ibn Battuta).

Politik Islam dan estetika berpengaruh terhadap masyarakat Afrika, namun tetap saja sulit untuk bisa dinilai. Di beberapa kota-kota besar, seperti Ghana dan Gao, dengan kehadiran pedagang muslim mengakibatkan adanya pendirian masjid-masjid. The Malian Raja Mansa Musa (1312-1337) yang membawa kembali seorang arsitek al-Sahili sepulang dari ziarah ke Mekkah, arsitek yang sering dikenal dengan penciptaan Sudano-Sahel yaitu suatu gaya bangunan. Saudara Musa, Mansa Siileyman, mengikuti jalan Tuhan dan mendorong pembangunan mesjid, serta pengembangan pembelajaran Islam. Islam yang dibawa ke Afrika, mengembangkan seni menulis dan teknik baru yang mempunyai bobot nilai dan peradaban Islam. Kota Timbuktu berkembang sebagai pusat komersial dan intelektual, tampaknya tidak terganggu oleh berbagai gejolak. Timbuktu mulai sebagai penyelesaian masalah Tuareg, segera diintegrasikan ke dalam kekaisaran Mali, kemudian diklaim oleh Tuareg, dan pada akhirnya masuk ke dalam kekaisaran Songhai.

Pada abad keenam belas, mayoritas ulama muslim di Timbuktu adalah berasal dari Sudan. Di pantai timur benua, dimana kosa kata Arab diserap ke dalam bahasa bantu untuk membentuk bahasa Swahili. Di sisi lain, dalam banyak kasus konversi untuk sub-Sahara Afrika, ada kemungkinan satu cara untuk melindungi diri terhadap penjualan manusia sebagai budak, perdagangan pun telah maju antara Lake Chad dan Mediterania.

Untuk para penguasa Afrika, yang tidak aktif proselytizers, konversi tetap agak bersifat formal, dengan isyarat yang mungkin bertujuan untuk mendapatkan dukungan politik dari orang-orang Arab dan memfasilitasi hubungan komersial. Perlawanan terkuat Islam tampaknya telah dipancarkan dari Mossi dan Bamana, dengan perkembangan kerajaan Segu. Akhirnya, sub-Sahara Afrika mengembangkan merek Islam sendiri, yang sering disebut sebagai "Islam-African", dengan asas persaudaraan dan praktek-praktek yang spesifik.

Percampuran Islam lokal dan Estetika Afrika, karena adanya perlawanan terhadap representasi manusia (orang) dan hewan. Sifat interaksi Islam dengan seni visual di Afrika adalah salah satu bentuk seni Islam di mana ditampung dan disesuaikan. Ulama muslim yang melek huruf Arab dan kekuatan esoteris ini menarik sejumlah orang untuk memeluk agama Islam. Ulama muslim sub-Sahara, yang memperkenalkannya sebagai jimat fabrikasi marabouts yaitu mulainya dengan ayat-ayat Al Qur’an, yang datang untuk menggantikan jimat yang ditampilkan dalam desain tradisional Afrika dibanyak artefak dan tempat obat-obatan pribumi.

Seni Islam juga diperkuat seni Afrika, yang menyukai desain geometrik dan pengulangan pola dalam mendekorasi permukaan tekstil dan menciptakan objek. Tenun lokal mungkin telah diubah dengan teknik menenun impor dari Afrika Utara.

Seni Islam telah juga berjalan berdampingan dengan tradisi representasional seperti menyamar. Praktik semacam ini sering dipandang sebagai tambahan daripada oposisi atau diluar Islam, khususnya ketika mereka dipandang beroperasi di luar pusat perhatian dari iman secara efektif. Contoh awal ini telah dicatat oleh Ibn Battuta, dan para sarjana Maghribi yang mengunjungi Mali di tahun 1352-1353 dan menyaksikan pertunjukan menyamar di istana kerajaan dari raja muslim.

Di banyak wilayah Afrika, koeksistensi seni Islam dengan bentuk seni representasional berlanjut hingga kini. Tapi walaupun Islam telah mempengaruhi berbagai praktek-praktek artistik di Afrika,  sejak masa pengenalan Islam dalam bentuk arsitektur yang monumental adalah yang terbaik sebagai warisan sejarah awal di benua Afrika. Masjid adalah contoh dari arsitektur yang paling penting dari keragaman estetis yang luar biasa yang dihasilkan oleh interaksi antara masyarakat muslim Afrika dan iman Islam.

Pola geometris membentuk satu kesatuan dari tiga jenis motif non-figuratif sebagai dekorasi dalam seni Islam, yang juga mencakup kaligrafi dan pola nabati. Apakah kemudian terisolasi atau digunakan dalam suatu kombinasi dengan ornamentasi atau berupa motif representasi yang non-figuratif, pola-pola geometris yang dianggap populer berkaitan dengan seni Islam, terutama karena kualitas yang  aniconic. Desain abstrak ini tidak hanya menghiasi permukaan monumental arsitektur Islam, tetapi juga berfungsi sebagai elemen dekoratif terutama pada array (wilayah) yang luas dari semua jenis benda.

Sementara itu, ornamen geometris mungkin telah mencapai pada puncaknya di dunia Islam. Sumber-sumber informasi, baik untuk bentuk maupun pola-pola yang rumit sebenarnya sudah ada pada zaman akhir di antara orang Yunani, Romawi, dan Sasanians di Iran. Seniman islami menyesuaikan dengan elemen kunci dari masa tradisi klasik, kemudian dibuat rumit dan diuraikan sedetailnya dalam rangka untuk menciptakan bentuk baru dari dekorasi yang menekankan pentingnya kesatuan dan ketertiban. Kontribusi pengembangan seni yang signifikan terutama dari intelektual Islam, matematikawan, astronom, dan ilmuwan, semua sangat penting untuk penciptaan gaya baru yang unik ini.

Hasilkan dari bentuk-bentuk sederhana seperti lingkaran dan pola pembagian ruang, pola-pola geometris digabungkan, diduplikasi, dihubungkan, dan disusun dalam kombinasi rumit, sehingga menjadi salah satu ciri khas seni Islam. Namun, pola-pola yang kompleks ini tampaknya mewujudkan penolakan untuk mematuhi secara ketat aturan geometri. Sebagai sebuah fakta, motif geometris dalam ornamentasi pada seni Islam menunjukkan jumlah yang luar biasa dalam bentuk kebebasan, dalam bentuk pengulangan dengan kompleksitas beragam, juga menawarkan kemungkinan pertumbuhan tak terbatas dan dapat mengakomodasi penggabungan ornamen jenis lain juga. Dalam hal abstraksinya pada motif berulang, simetri, pola-pola geometris ini memiliki banyak kesamaan dengan apa yang disebut gaya endy, terlihat di banyak variasi desain. Hiasan kaligrafi juga muncul dalam hubungannya dengan pola-pola geometris. Seperti empat bentuk dasar, atau "mengulangi unit" dari pola yang lebih rumit dibuat adalah: lingkaran dan lingkaran interlaced; bujur sangkar atau empat-sisi poligon; pola bintang di mana-mana, akhirnya berasal dari kotak dan segitiga tertulis dalam sebuah lingkaran; dan multisided poligon. Hal ini jelas, bahwa pola-pola kompleks yang ditemukan pada banyak benda mencakup beberapa bentuk dan pengaturan yang berbeda, yang memungkinkan mereka untuk masuk kepada lebih dari satu kategori.

Ada semacam usaha dalam Islam dari Cosmos. Dalam pandangan Islam, Allah adalah Realitas Tertinggi. Segala sesuatu dalam ciptaan yang terlihat berasal dari-Nya dan berupa nama atau atribut (sifat) serta manifestasi ilahi-Nya. Dia menciptakan alam semesta, baik yang dikenal manusia maupun apa yang tidak diketahui, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu, dengan segala sesuatu yang berpaling kepada-Nya dan berpusat pada-Nya. Ini adalah sangat jelas terlihat seperti dalam struktur atom.

Seniman dan pengrajin Muslim awal yang hadir mewarisi  sistem yang rumit yang saling terkait bentuk-bentuk geometris, yang akhirnya merupakan basis geometris seni Islam tentu saja tidak tahu-menahu dan tidak menyadari akan realitas tersebut. Meskipun demikian, cara di mana mereka hasilkan mengandung makna, bahwa yang tertinggi adalah Allah, suatu tempat yang sentralistik dalam cosmos. Dan sambungan ini kepada bagian-bagian dari penciptaan-Nya dan kepada keseluruhan yang ada, mencerminkan pendekatan yang sangat signifikan dari apa yang sekarang dapat didokumentasikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tradisi seni keterampilan dan kekriyaan (Craftsmanship) dalam sepanjang sejarah Islam, seni tersebut telah mengambil dari berbagai bentuk yang populer di berbagai belahan dunia muslim, yang membentang dari Afrika Utara sampai ke Asia Tenggara. Aplikasinya menurut ketentuan dan kebiasaan setempat, mulai dari seni kerajinan rakyat yang sederhana sampai yang paling keterampilan tingkat tinggi sebagai seniman dan tidak sekedar tukang. Dalam karya-karya yang terakhir, apakah itu master kaligrafi, keramikus terkenal atau pembuat gerabah, yang terampil embroiderer atau pembuat miniatur, warisan keahlian yang halus, yang melibatkan penguasaan seni atau kerajinan tradisional di sepanjang masa, memperhatikan garis secara lengkap dengan perhatian cermat pada detail, merupakan ciri khas seni Islam.

Tradisi keterampilan seperti ini masih berlanjut sampai sekarang, dan arsitektur Islam serta seni dekoratif masih eksis dan dihargai di banyak bagian dunia Muslim. Sementara seni ala Barat dan mesin bentuk kerja terus mengolahnya secara luas bentuk-bentuk seni tradisional tersebut. Namun demikian, pekerjaan tangan masih dihargai, dihormati dan dicintai, menjadikan aspek penting dari dekorasi pada masjid dan rumah-rumah muslim. Secara khusus pula, juga menampilkan hiasan kaligrafi Al Qur’an yang merupakan aspek penting dari seni Islam itu sendiri.

Manusia cenderung untuk menyukai kesenian sebagai representasi dari fitrahnya mencintai keindahan. Dan tak bisa dipisahkan lagi antara kesenian dengan kehidupan manusia.

Namun bagaimanakah dengan fenomena yang terjadi sekarang, yang ternyata dalam kehidupan sehari-hari dihiasi dengan nyanyian-nyanyian cinta. Ataupun ada kata-kata atau gambar-gambar yang  seronok yang diklaim sebagai karya seni oleh sebagian orang, dan ini semakin marak menjadikan konsumsi orang-orang bahkan oleh anak-anak ? Bagaimanakah pandangan Islam terhadap hal-hal tersebut ?

Sebaiknya segera dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Bahwa dalam Al-Qur’an disebutkan : “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman: 6). Jikalau kata-kata dalam nyanyian itu merupakan perkataan-perkataan yang tidak berguna bahkan menyesatkan manusia dari jalan Allah, maka haram nyanyian tersebut. Nyanyian-nyanyian yang membuat manusia terlena (lupa) dan mengkhayalkan hal-hal yang tidak patut (lepas dari syari’at) maka kesenian tersebut haram hukumnya.

Maka menurut DR. Yusuf Qardhawi[1], hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal nyanyian antara lain :
1.  Tidak semua nyanyian hukumnya mubah, karena isinya
      harus sesuai dengan etika Islami dan ajaran-ajarannya.
2.  Penampilan dan gaya menyanyikannya juga perlu dilihat, melanggar syari’at dan etika.
3. Nyanyian tersebut tidak disertai dengan sesuatu yang haram, seperti minum khamar, menampakkan aurat, atau pergaulan bebas laki-laki dan perempuan tanpa batas.
4.  Nyanyian – sebagaimana semua hal yang hukumnya mubah (boleh)- harus dibatasi dengan sikap tidak berlebih-lebihan.

Dibalik kontroversi yang marak tahun 2006[2] di seluruh dunia Islam, karena adanya karikatur Nabi Muhammad yang termuat di koran Denmark, Jyllands-Posten, sesungguhnya terdapat perihal yang lebih mendasar, yakni perupaan sosok yang disucikan oleh Islam. Bagaimana sesungguhnya Islam melihat seni, khususnya seni rupa?

Seni rupa, dalam hal ini lukisan dan patung, akan selalu saja bermasalah jika ditinjau dari doktrin Islam Wahabi dan budaya Arab, dengan pemikiran fundamentalis-radikal dan berwawasan sempit. Perupaan demikian tidak hanya terbatas pada sosok yang dianggap suci saja seperti para malaikat dan nabi, tetapi juga sampai pada perupaan makhluk hidup sekecil semut atau pun nyamuk. Ini terlihat dari beberapa hadits yang bersikap tegas melarang gambar dan patung. Hadits merupakan ajaran Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Misalnya saja sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di Hari Kiamat adalah pelukis”. Pelukis dan pematung dianggapnya telah “menandingi” Allah, dengan “menciptakan bentuk makhluk bernyawa” dalam karyanya. Dan juga dalam hadits itu disebutkan, mereka akan dipaksa “menghidupkan makhluk itu”; jika tidak bisa, mereka akan disiksa. Dalam riwayat Muslim yang lain, “Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung”. Demikianlah sederet dalil yang biasa digunakan untuk mengharamkan gambar dan patung. 

Patung Al Ghazali. 
Bagi orang Islam modern tentu tidak akan menyembahnya untuk menggantikan Allah (Tuhan), tetapi hanya sebagai kenangan belaka dan seni.


Dalam konteks kelahiran  agama Islam memang dalam ranah budaya Arab, perupaan dalam bentuk patung erat kaitannya dengan media menuju kemusyrikan. Adapun Islam hendak menegakkan ajaran tauhid dan segera menghancurkan segala media kemusyrikan itu. Perupaan yang dikenal oleh bangsa Arab ketika Islam lahir tidak bertujuan untuk seni, tapi sebagai kultus dan sembahan, sesuai dengan pola berfikir masa itu.

Pengaruh dari kondisi geografis, yang tidak memungkinkan bangsa Arab untuk mendirikan pusat peradaban. Hidupnya di tengah gurun pasir yang tandus, terkucilkan, dikelilingi oleh bukit-bukit dan lembah yang gersang, membuat mereka hidup nomaden untuk mencari oase dan padang rumput demi mempertahankan hidup. Yang lebih ekstrim lagi, bangsa Arab waktu itu hanya senang sastra saja, dan tidak memiliki budaya dan senirupa yang bernilai tinggi. Apalagi bila dibandingkan dengan beberapa peradaban besar yang lahir ribuan tahun sebelum Islam datang, misalnya peradaban-peradaban Firaun di Mesir, Babilonia di Irak, Yunani, Romawi, Persia, Yaman dan Ethiopia.

Sangatlah berbeda dengan peradaban-peradaban kuno yang lahir dan berkembang di tepian sungai-sungai besar. Peradaban Firaun lahir di tepi Sungai Nil, Babilonia di Sungai Eufrat (Furat), India di Sungai Gangga, dan Tiongkok di Sungai Kuning. Jika kita percaya pada teori bahwa seni dan budaya yang berkualitas itu berasal dari taraf kehidupan bangsa yang tinggi, maka bangsa Arab tidak memiliki potensi itu. Kualitas seni yang dikenal oleh bangsa Arab hanyalah seni sastra yang tercatat dalam syair-syair Jahiliyah

Namun hal itu pun diragukan, Thaha Husain dalam bukunya Fî al-Syi’ir al-Jâhilî (Puisi Jahiliyah). Yang menurutnya, syair-syair jahiliyah itu bukan berasal dari zaman jahiliyah pra-Islam, tetapi berasal dari praktik pemalsuan (intihâl) yang dilakukan oleh penyair-penyair bangsa Arab kemudian. Tujuannya memuji kemulian dan kebesaran bangsa Arab. Syair terindah dan terunggul akan diabadikan dengan digantungkan di Ka’bah sebagai penghormatan yang digelari al-mu’allaqât (syair-syair yang digantungkan). Hakikatnya, syair-syair tersebut adalah propaganda untuk menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Arab memiliki cita rasa seni, sastra dan budaya yang tinggi. Padahal, kenyataannya sungguh bertolak belakang. Inilah paradoks pencitraan bangsa Arab yang dalam Al Qur’an disebut berbudaya Badui yang nomaden, menanam bayi perempuan hidup-hidup, suka berperang, dan memiliki sifat-sifat masyarakat tak berbudaya lainnya.

Sebenarnya bangsa Arab juga tidak mengenal peradaban fisik yang agung. Ka’bah sebagai simbol arsitektur bangsa Arab, tidak menarik secara estetis. Bentuknya hanya kubus dan dibangun dari tumpukan batu-batu. Bahkan ketika Ka’bah mengalami kerusakan, yang merenovasinya adalah tukang-tukang dari Koptik (Mesir). Para tukang itu memiliki kebiasaan bernyanyi dan memukul gendang. Dari mereka itulah, bangsa Arab mengenal lagu dan musik.

Demikian pula Masjid Nabawi di Madinah, yang didirikan dari batang pohon kurma dan tumpukan batu saja. Posisinya berhimpitan dengan rumah Nabi yang hanya dibatasi tirai kain. Bandingkanlah dengan peradaban zaman Firaun di Mesir dan Babilonia di Irak, semenjak  ribuan tahun silam sebelum Islam tiba, yang telah mampu membuat atau membangun kota dan istana yang megah.

Bangsa Arab pun sudah mengenal seni patung. Tapi janganlah menyamakan itu dengan, misalnya, patung-patung zaman Firaun di Mesir. Patung Arab terbuat dengan pahatan kasar yang dibuat sederhana dan  memiliki kualitas seni berbeda sama sekali. Bahkan Umar bin Khattab yang kelak dikenal sebagai Khalifah kedua itu pernah membuat patung dari adonan kue sebelum dia masuk Islam. Setelah disembahnya patung itu pun kemudian dimakannya. Ini sungguh berbeda dengan tradisi patung-patung di tempat lain, yang di samping sebagai obyek pemujaan juga garapan untuk persembahan. Islam datang tanpa memerikan sumbangsih apapun terhadap dunia seni. Seperti tradisi agama sebelumnya, Islam terpengaruh oleh struktur budaya masyarakat awal di Arab yang didatanginya. Akhirnya karakter Islam juga akan mengulangi budaya bangsa Arab. Yaitu sama-sama tidak memberi tempat yang layak pada seni umumnya.  Namun Islam menyumbangkan penulisan, tradisi yang sebelumnya dianggap aib oleh bangsa Arab. Adapun perangkat hukum, ritual keagamaan dari sholat, haji, puasa jelaslah berasal dari budaya masyarakat pra-Islam. Hal ini digambarkan secara apik oleh Khalil Abd Karim dalam buku al-Judzûr al-Târîkhiyyah li Syarî’ah al-Islâmiyah (Akar-akar Historis Syariat Islam).
Begitu juga menurut Mohammad Arkoun dalam karyanya Ayna Huwa al-Fikr al-Islâmî al-Mu’âshir (Di Mana Pemikiran Islam Kontemporer?). Menurutnya, Islam hanya mengubah orientasi dari simbol teologis menjadi simbol politis. Hal itu akibat pergumulan dengan ideologi bangsa Arab waktu itu. Sebelum Islam, simbol-simbol teologis tersebut digunakan sebagai alat ketaatan terhadap suku yang diwujudkan dalam berhala (patung).

Islam mengubah orientasi simbolik dari patung (berhala) menuju Tuhan (Allah). Adapun simbol-simbol teologis yang ampuh menundukkan ketaatan masyarakat tetaplah dipertahankan. Secara sederhana pertikaian antara Nabi Muhammad dengan suku-suku Arab merupakan pertarungan politis dengan simbol teologis yang sama. Patung adalah saingan Allah. Fanatisme kesukuaan (al-‘ashabiyah) adalah saingan persaudaraan Islam (al-ukhuwwah al-Islâmiyah). Sementara dukun (al-kâhin) dan penyair (al-syâ’ir) adalah dianggap menjadi saingan Nabi.

Islam bersentuhan dengan dunia seni menurut Ahmad Amîn seorang sejarawan muslim terkemuka dalam karyanya, Fajr al-Islâm (Fajar Islam), bangsa Arab muslim awal-mulanya, yang pada dasarnya tidak mengenal seni, budaya dan peradaban. Mereka mengenal seni setelah keluar dari daerah asalnya yaitu tanah Hijaz (Saudi Arabia saat ini). Islam baru bersinggungan dan mengenal dengan seni rupa, musik, dan arsitektur setelah menguasai pusat-pusat peradaban dunia pra-Islam. Terutama pada masa Dinasti Umayyah di Damaskus (Siria) dan Dinasti Abbasiah di Baghdad (Irak). Demikian juga tradisi-tadisi keilmuan Islam seperti tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam (teologi), dan tasauf, yang disusun dan dikodifikasikan karena pengaruh dari peradaban-peradaban lain.

Setelah Islam dapat menguasai pusat-pusat peradaban dalam penyebarannya, muncul  pendapat ekstrem yang melarang seni tidak lagi populer. Sebab, pemimpin-pemimpin politik yang berasal dari dinasti-dinasti Islam sangat menikmati kehidupan seni yang sekuler. Dinasti Umayyah memiliki peranan dalam mengembangkan tradisi-tradisi keilmuan Islam, mulai dari tafsir, hadits, fikih dan tasauf serta penerjemahan filsafat Yunani. Mereka juga menikmati kehidupan seni musik, tari, rupa dan lain-lain. Dinasti Abbasiah sesudahnya merupakan zaman keemasan, dan menjadi pusat peradaban dunia waktu itu. Sedangkan ulama agama yang ekstrem tidak berani menolak secara terang-terangan, meskipun demikian mengutuk secara diam-diam kehidupan penguasa Islam yang sekuler itu.

Merunut doktrin dan sejarah awal Islam, bisa disimpulkan bahwa mencari pembenaran terhadap seni rupa terutama patung dalam doktrin Islam adalah pekerjaan sia-sia. Namun bukan berarti perupaan terhadap Nabi tidak ada sama sekali. Penggambaran Nabi, baik dengan wajah terbuka ataupun dengan tertutup, nantinya ditemukan di kawasan Persia, Turki dan Asia Tengah. Perupaan tersebut merupakan “keusilan” para seniman yang hidup di alam sekuler, yang berasal dari luar tanah Hijaz (Arab), ataupun yang telah menjadi seniman sebelum masuk Islam. Misalnya sebuah lukisan yang dibuat pada 1315 di Tabriz, Persia (Iran), yang menggambarkan Nabi Muhammad tengah mengambil Hajar Aswad (batu hitam) dari selembar kain yang empat ujungnya dipegang oleh masing-masing kepala suku besar di Makkah. Cerita itu berasal dari kitab sejarah Jâmi’ al-Tawârikh karya Rasyid al-Dîn. Sedangkan manuskrip gambar itu saat ini berada di perpustakaan Universitas Edinburgh Inggris. Lukisan-lukisan lain yang menggambarkan sosok Nabi dengan wajah terbuka ditemukan di Bukhara (Uzbekistan) dan Herat (Afghanistan). Sedangkan lukisan sosok Nabi dengan wajah tertutup berasal dari perkembangan seni rupa dan arsitektur Dinasti Utsmaniyah di Turki. 

Kaligrafi yang juga sering diklaim sebagai seni Islam itu sebenarnya berasal dari tanah Persia. Sementara itu, mayoritas intelektual muslim yang menulis tafsir, hadits, tasauf dan sains, bukanlah orang-orang Arab. Sebut saja al-Bukhari, Muslim, al-Ghazali, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Razi, al-Khawarizmi, al-Jabar, al-Haytsam, dan lain-lain. Bahkan ahli bahasa Arab yang terkenal sekalipun, seperti al-Sibawih, bukanlah orang Arab. Oleh sebab itulah ajakan untuk kembali pada era masyarakat yang terbelakang tidak populer. Disadari bahwa seni yang sering diklaim sebagai seni Islam bukanlah berasal dari ajaran normatif Islam, tapi dari sisi-sisi historis Islam. Bukan Islam sebagai sebuah agama an sich, tapi Islam yang telah berinteraksi dengan berbagai peradaban pra-Islam lainnya. [3]

Setelah wafatnya Nabi Muhammad pada 632 A.D., seni rupa Islam mewarisi dua tradisi artistik yang berbeda: Mereka yang memilih Byzantium Kristen ke barat dan Kekaisaran Sassanian ke timur. Kemudian, seiring dengan Kekaisaran Muslim baru menyapu barat hingga ke Spanyol dan, kemudian, hingga ke Asia, ia menyerap berbagai pengaruh baru, khususnya dari Cina.

Namun demikian, walaupun seni Islam mencerminkan tingkah laku dari rezim-rezim yang terus berganti, dari zaman awal Khalifah Umayyad dan Abbasid hingga yang terakhir dinasti Safavid, Qajar, dan Ottoman. Dan di sini, larangan Islam atas seni yang menampilkan figur seseorang diterjemahkan secara berbeda.

Seni yang bernafaskan agama Islam menghormati aturan tersebut tanpa kecuali, dengan mengandalkan kutipan kaligrafi dari Al Qur'an dan bentuk abstrak, sering kali bentuk geometris dan ornamentasi. Tetapi seni sekuler, termasuk di dalamnya benda-benda yang bermanfaat seperti permadani, vas keramik, peti gading, kendi kaca, dan metal, sering menampilkan bentuk tanaman dan hewan. Beberapa penguasa Muslim bahkan memesan potret mereka sendiri. Dan walaupun kaligrafi tetap menjadi penting, juga ditambahkan pada karya dengan menggunakan bait-baik puisi selain ayat-ayat Al Qur'an.

Sorotan baru sekarang diarahkan kepada sebuah kebudayaan yang telah lama terabaikan. Namun ini semua sama sekali bukan benda baru yang didorong oleh keindahan benda-benda seni, keinginan untuk belajar dari keindahan rancangan sebelumnya. Museum-museum memperoleh kebanyakan koleksinya pada abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, jauh sebelum Timur Tengah diperhitungkan. Sabda Nabi sendiri ada dikutip mengatakan: "Tuhan itu indah dan Dia mencintai keindahan" Pada masa yang sekarang, kalimat ini sesungguhnya sangatlah berharga untuk dapat diingatkan dan direalisasikan dalam aktivitas senirupa.

Coba perhatikanlah ornamen yang sangat indah pada dinding-dinding bangunan bersejarah di Turki. Keindahan yang sama bisa dilihat di Darb-i Imam shrine di Isfahan-Iran, juga di Seljuk Mama Hatum Mausoleum di Tercan-Turki. Bangunan-bangunan abad pertengahan Islam tersebut membuktikan perkembangan Islam tak terlepas dari jiwa dan nafas seni. Bangunan masjid di Indonesiapun juga banyak yang indah-indah dengan beragam hiasan dan olah seni.

Pola-pola yang terlukis di bangunan-bangunan, diakui memiliki tingkat dan nilai seni yang tinggi, melebihi pengetahuan seni dunia barat pada masa itu. Peter J Lu, peneliti dari Harvard University, Amerika Serikat, membuktikannya. Pada kesimpulan penelitian yang dilakukannya, ia mengatakan, ornamen-ornamen itu nyaris membentuk pola quasi-crystalline yang sempurna. Padahal dunia Barat baru mengenal pola yang indah itu setelah 500 tahun kemudian [www.sciencemag.org]. Dunia Barat mengenal pola quasi-crystalline setelah Roger Penrose, seorang ahli matematika dan kosmologi berkebangsaan Inggris memperkenalkannya pada tahun 1970. Dan pola semacam itu kemudian disebut dengan quasi-crystalline Penrose.

Pola quasi-crystalline adalah pola bergaris yang saling bertautan satu sama lain yang membentuk pola yang tidak berulang, bahkan jika diteruskan ke semua arah sekalipun. Pola quasi-crystalline memiliki bentuk yang simetris khusus. Pola semacam itu sudah banyak digunakan arsitek-arsitek muslim abad pertengahan Islam. Peter J Lu menyebut sebagai karya yang menakjubkan dimana      pembuatan ubin-ubin memperlihatkan penguasan pada  matematika yang begitu canggih sehingga tak dapat dibayangkan sampai dengan 20 atau 30 tahun sesudahnya.

Dunia juga mengakui, salah satu corak keramik yang paling indah adalah karya tangan-tangan terampil pembuat keramik muslim. Memang pada awalnya mereka meniru corak keramik dari Cina dan Yunani. Namun, dalam perkembangan waktu, mereka menghasilkan corak yang berbeda. Keramik-keramik yang mereka ciptakan membentuk karakter keindahan tersendiri, berbeda dengan karakter keramik dari Cina atau Yunani. Teknik-teknik baru pembuatan keramik pun lahir.

Semua bukti-bukti di atas tak selalu mengubah pandangan sebagian muslim yang menganggap bahwa Islam menghambat seni dan memusuhinya. Seolah-olah pada setiap perkembangan seni berlawanan dengan nilai-nilai Islam.

Sebagai pengenalan umum tentang seni Islam, yang diambil dari contoh-contoh koleksi museum secara komprehensif mencakup karya dari daerah selatan membentang dari Spanyol ke Asia Tengah, mulai dari abad ketujuh hingga sekarang ini sebagai usaha untuk melihat permukaan yang jelas tentang keindahan seni Islam dan menemukan sejarah yang kaya akan tradisi budaya yang muncul pada seni ini.

Istilah seni Islam mungkin saja membingungkan bagi beberapa pengamat. Tidak hanya menggambarkan seni yang diciptakan khusus di pelayanan Islam, tetapi juga menjadi ciri khas seni sekuler yang dihasilkan di negeri-negeri di bawah pemerintahan Islam yang berpengaruh kepada seniman  apapun afiliasi agama yang dianut. Istilah ini menunjukkan seni telah bersatu dalam gaya dan tujuan, dan memang ada beberapa fitur-fitur umum yang membedakan semua seni di wilayah kekuasaan Islam. Walaupun seni Islam merupakan seni yang sangat dinamis, yang sering ditandai dengan karakteristik wilayah yang kuat dan dipengaruhi secara signifikan dari budaya lain serta  mempertahankan koherensi keseluruhan yang luar biasa pada segi geografis yang luas dengan yang tak terbatas soal duniawi. Ada semacam kepedulian terhadap perkembangan seni Islam  adalah mengenai Islam itu sendiri. Segalanya yang dipupuk sebagai penciptaan budaya visual yang berbeda dengan bahasa artistik yang unik.

Berlawanan dengan kesalahpahaman dalam seni yang popular. Namun ada pendapat mengatakan bahwa citra figuratif adalah aspek penting dari seni Islam. Gambar tersebut terjadi terutama untuk tujuan sekuler dan mengutamakan seni-sopan dan muncul dalam berbagai media yang sebagian besar periode dan tempat-tempat di mana Islam itu berkembang. Penting untuk dicatat bahwa representasi citra seni hampir selalu dibatasi pada konteks pribadi. Terkecuali seni patung atau seni figuratif, pada dekorasi serta monumen yang berbasis keagamaan. Ketiadaan ini dimasukkan ke Islam sebagai antipati terhadap sesuatu yang mungkin membuat keliru untuk berhala atau penyembahan berhala, yang secara eksplisit dilarang oleh Al-Qur'an.

Kebudayaan Islam yang disebut juga sebagai seni dekoratif, menyediakan sarana utama untuk ekspresi artistic. Berbeda dengan seni Barat, di mana lukisan dan pahatan yang menonjol dan unggul. Pada manuskrip, kain tekstil dan karpet, hias logam, kaca ditiup, keramik berlapis, ukiran kayu dan batu semua itu menyerap energi kreatif para seniman muslim, berkembang menjadi bentuk seni tersendiri. Karya-karyanya mencakup skala kecil obyek sehari-hari digunakan, seperti gelas kaca halus, serta lebih monumental pada dekorasi-arsitektur, misalnya, ubin berlapis panel dari fasad bangunan. Pembuatan benda seperti itu dihiasi dengan teliti dan hati-hati, sering kali menunjukkan bahwa dibuat dengan bahan-bahan yang langka dan mahal serta bentuk orang-orang yang dibuat dikelilingi oleh keindahan.

Royal patronase memainkan peran penting dalam pembuatan seni Islam, seperti yang terjadi dalam seni budaya lain. Pembangunan masjid dan bangunan keagamaan, termasuk dekorasi dan perabotan mereka, adalah tanggung jawab penguasa dan hak prerogatif pejabat pengadilan tinggi. Monumen kebijakan seperti itu tidak hanya diberikan untuk kebutuhan rohani muslim tetapi sering disajikan komunitas pendidikan dan berfungsi sebagai amal baik. Royal patronase seni sekuler juga merupakan fitur standar kedaulatan Islam, yang memungkinkan penguasa untuk menunjukkan kemegahan istananya dan dengan ekstensi, keunggulan dari negara. Bukti sopan patronase ini berasal dari karya-karya seni itu sendiri, tapi yang sama pentingnya adalah sumber informasi tubuh yang ekstensif teks sejarah kerajaan yang menegaskan sponsor dari seni hampir sepanjang periode Islam. Karya-karya sejarah ini juga menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari pengadilan seperti seni yang disponsori telah selamat; benda-benda yang terbuat dari bahan yang berharga sangat jarang. Dari abad keempat belas dan seterusnya, khususnya di bagian timur wilayah Islam, seni buku menyediakan dokumentasi terbaik sopan patronase.

Tentu saja tidak semua karya seni Islam yang disponsori oleh pengadilan, bahkan, mayoritas benda dan naskah dalam koleksi museum berasal di tempat lain. Seperti karya seni - termasuk keramik, pangkal metalware, karpet, dan tekstil - sering dipandang sebagai produk urban, kelas menengah patronase. Objek ini tetap sering mencerminkan gaya yang sama dan menggunakan bentuk yang sama dan teknik yang digunakan dalam seni sopan.

Produksi dalam sopan atau pengaturan perkotaan atau untuk konteks religius, seni Islam pada umumnya merupakan karya seniman anonim. Sebuah pengecualian adalah dalam bidang seni buku. Nama-nama ahli kaligrafi tertentu sangat terkenal, yang tidak mengejutkan mengingat keunggulan kata-kata tertulis dalam Islam, seperti juga orang-orang dari sejumlah pelukis, yang sebagian besar melekat pada pengadilan tertentu. Identifikasi seniman ini didasarkan pada telah ditandatangani atau diberikan contoh-contoh karya mereka dan pada referensi tekstual. Mengingat jumlah besar yang masih ada contoh, beberapa tanda tangan komparatif ditemukan pada logam, tembikar, ukiran kayu dan batu, dan tekstil. Mereka tanda tangan yang terjadi, jarang dikombinasikan dengan bukti-bukti dari sumber-sumber tekstual kontemporer, menunjukkan bahwa keluarga seniman, sering kali selama beberapa generasi, khusus dalam medium tertentu atau teknik.

Seperti anggapan bahwa bentuk dari seni Islam yang menunjukan dengan kompleks subjek. Saat ini ada beberapa cara yang berbeda untuk mengklasifikasi seni Islam, berikut teks yang melekat pada empat bagian divisikan secara kronologis yang digunakan dalam galeri Islam di Los Angeles County Museum of Art. Sistem klasifikasi ini dimaksudkan untuk menekankan kesatuan keseluruhan seni Islam dalam setiap dari empat periode kronologis, sementara juga mempertimbangkan berbagai dinasti yang memerintah berturut-turut membubuhkan tanda baca sejarah Islam dan patronase yang memiliki dampak penting terhadap perkembangan seni Islam. Periode awal Islam, ketujuh melalui abad kesepuluh, meliputi asal-usul Islam; menciptakan sebuah agama, politik, dan budaya persemakmuran dan pembentukan gaya baru seni. Pada awal periode abad pertengahan, dari kesebelas melalui pertengahan abad ketiga belas, dan pada akhir periode Abad Pertengahan, pertengahan ketiga belas melalui abad kelima belas, muncul berbagai kekuatan regional, yang dipromosikan beragam bentuk-bentuk ekspresi budaya. Akhirnya, pada akhir periode Islam, keenam belas melalui abad kedelapan belas, adalah zaman kerajaan besar, di mana patronase dinasti kuat, lebih dari sebelumnya, membantu untuk mempromosikan dan membentuk gaya artistik, sebagai periode Sejarah Seni Islam.


Dasar Seni Islam

Seni yang didasarkan pada nilai-nilai Islam [agama/ketuhanan] inilah yang menjadi pembeda antara seni Islam dengan ragam seni yang lain. Titus Burckhardt, seorang peneliti berkebangsaan Swiss-Jerman mengatakan, “Seni Islam sepanjang ruang dan waktu, memiliki identitas dan esensi yang satu. Kesatuan ini bisa jelas disaksikan. Seni Islam memperoleh hakekat dan estetikanya dari suatu filosofi yang transendental.” Ia menambahkan, para seniman muslim meyakini bahwa hakekat keindahan bukan bersumber dari sang pencipta seni. Namun, keindahan karya seni diukur dari sejauh mana karya seni tersebut bisa harmonis dan serasi dengan alam semesta. Dengan begitu, para seniman muslim mempunyai makna dan tujuan seni yang luhur dan sakral.

Apakah seni Islam harus berbicara tentang Islam? Sayyid Quthb dengan tegas menjawab "tidak". Kesenian Islam tak harus berbicara tentang Islam. Ia tak harus berupa nasehat langsung atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang aqidah. Tetapi seni yang Islami adalah seni yang menggambarkan wujud dengan ‘bahasa’ yang indah serta sesuai dengan fitrah manusia. Kesenian Islam membawa manusia kepada pertemuan yang sempurna antara keindahan dan kebenaran. « [imam]

The Taj Mahal, Agra. Shah Jahan 's 1648 peringatan kepada istri Mumtaz Mahal, pada tahun 1983, bisa disebutkan sebagai "permata seni Islam di India dan salah satu karya yg dikagumi dari warisan dunia.

Bersulam panel, 18 sampai abad ke-19, dari Kaukasus, mungkin Karabagh. Tekstil yang berwarna-warni ini dari kawasan Kaukasus adalah sebuah seni dalam negeri yang dibuat untuk pemakaian rumah tangga dan perdagangan lokal, dan mungkin telah mengilhami Kaukasia lebih terkenal sebagai karpet yang dibuat untuk ekspor. 

Seni Islam mencakup seni visual yang dihasilkan dari abad ke-7 dan seterusnya oleh orang-orang (tidak harus Muslim) yang tinggal di wilayah yang dihuni oleh budaya Islam populasi. [2] Ini mencakup bidang-bidang beragam seperti arsitektur, kaligrafi, lukisan, dan keramik, antara lain.

Biasanya, meskipun tidak sepenuhnya, seni Islam berfokus pada penggambaran pola-pola dan kaligrafi arab, bukan pada angka-angka, karena dikhawatirkan oleh banyak umat Islam bahwa penggambaran bentuk manusia adalah penyembahan berhala dan karenanya adalah dosa terhadap Allah, dianggap dilarang tentu dalam memahami al Qur'an secara kaku, namun pemikiran modern bentuk penyembahan seperti yg dikhawatirkan sudah sudah tidak lagi relevan lagi, kecuali ada doktrin yg kuat .

Seni Islam adalah seni bukan hanya berkaitan dengan agama. Istilah "Islam" tidak hanya mengacu kepada agama, tetapi untuk memenuhi kesenangan / kebutuhan orang kaya dan untuk beragam budaya Islam juga. Seni Islam sering mengadopsi unsur-unsur sekuler dan unsur-unsur yang disukai, tentu jika tidak dilarang oleh beberapa teolog Islam.

Seni Islam dikembangkan dari berbagai sumber: Roma, seni Kristen awal, dan Byzantium diambil alih gaya dalam Islam awal seni dan arsitektur pengaruh dari Sassania seni pra-Islam Persia adalah yang terpenting maknanya; gaya Asia Tengah dibawa masuk dengan berbagai no-maden penyerangan; dan Cina memiliki pengaruh efek penting seni rupa Islam yaitu  lukisan, keramik, dan tekstil. Juga peranan adat dan budaya daerah setempat dimana ada kaum muslim berekspresi dan berkreasi menghiasi berbagai dinding bangunan, perabotan dan kain serta busana.

Ada elemen-elemen berulang dalam seni Islam, seperti penggunaan pola geometris, tanaman, bunga atau desain dalam suatu pengulangan yang dikenal sebagai endy. The endy dalam seni Islam sering digunakan untuk melambangkan transenden, terpisahkan dan sifat tak terbatas Allah. Kesalahan dalam pengulangan mungkin sengaja diperkenalkan sebagai menunjukkan kerendahan hati oleh seniman yang percaya bahwa hanya Allah yang dapat menghasilkan kesempurnaan, meskipun teori ini masih diperdebatkan . 

Sebagian besar Muslim Sunni dan Syiah ada yang percaya bahwa penggambaran visual semua makhluk hidup pada umumnya harus dilarang. [Rujukan?] Meskipun demikian, penggambaran manusia (foto, lukisan dll) dapat ditemukan dalam semua era seni Islam. Perwakilan manusia untuk tujuan ibadah dianggap penyembahan berhala dan sebagaimana mestinya dilarang dalam hukum Islam, yang dikenal sebagai Syariah.

[1] Maroji . Fatwa-fatwa Kontemporer Yusuf Qardhawy (Seni dalam Islam/Fiqh Kontemporer)
[2] Guntur Romli, Adakah Seni Rupa dalam Islam? Koran Tempo rubrik Seni 26 Pebruari 2006
[3] Yahyaayyash, Seni Dalam Islam, 31 -05 - 2008



Karya-karya Agus Mulyadi Utomo
 ' Bencana'

                                                                                                                                                                            

1 komentar:

  1. maaf saya belum mengerti tentang seni rupa berupa lukisan atau gambar yang pada hakikatnya tidak perbolehkan / haram hukumnya menggambar mahluk hidup bagi agama islam. pada dasar zaman sudah berbeda pada zaman nabi dan zaman sekarang, lantas hukum menggambar kartun, karikatur, lukisan banyak ulama berpendapat haram juga. bagaimana hukumnya membuat kartun yang di pergunakan untuk sarana dakwah seperti tokoh ipin & upin? hukum lambang negara kita burung garuda apa juga haram karena burung termasuk mahluk hidup juga?

    BalasHapus